Advertisement
Analisis | BRICS vs OECD: Mana yang Lebih Strategis bagi Indonesia? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

BRICS vs OECD: Mana yang Lebih Strategis bagi Indonesia?

Foto: Katadata/ Bintan Insani
Tak hanya ingin masuk OECD yang dimotori Amerika Serikat dan negara-negara barat, Indonesia juga tertarik bergabung dengan BRICS yang digawangi China dan Rusia. Kedua kelompok tersebut memiliki karakteristik berbeda. Indonesia dapat memperluas pasar jika bergabung dengan BRICS. Sedangkan OECD menuntut perbaikan tata kelola pemerintahan.
Puja Pratama
14 November 2024, 11.20
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Menteri Luar Negeri Sugiono menyatakan ketertarikan untuk bergabung dengan BRICS. Kelompok negara-negara berkembang yang beranggotakan sembilan negara ini, merupakan organisasi yang ingin mengurangi ketergantungan terhadap negara maju, terutama yang berasal dari Barat, seperti ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

BRICS adalah kepanjangan dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan. Kemudian jumlah anggota bertambah Mesir, Iran, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab yang bergabung sejak 2023. 

Keinginan Indonesia bergabung dengan BRICS berlangsung di tengah proses penerimaan sebagai anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). 

Meskipun memiliki misi sebagai organisasi yang mendorong perbaikan ekonomi negara anggotanya, OECD merupakan organisasi yang mayoritas beranggotakan negara-negara maju dari Barat.

Dari segi misi organisasi, BRICS dan OECD memiliki tujuan yang sama. Namun, BRICS memang terlihat sebagai antitesis dari kondisi ekonomi global yang selama ini didominasi oleh mayoritas negara barat dari OECD.

Apa Peluang yang Didapat Indonesia?

Di atas kertas, rasio Produk Domestik Bruto (PDB) BRICS terhadap PDB global masih lebih rendah dari OECD. Namun, PDB BRICS menunjukkan tren pertumbuhan positif. Berbeda dengan OECD yang cenderung melandai sejak 2003, dan stagnan sejak 2015.

Menurut Nailul Huda, peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), jika bergabung dengan BRICS, Indonesia akan lebih mudah mengakses pasar yang selama ini kurang terjamah, khususnya wilayah Afrika dan Timur Tengah.

“Ini bisa jadi cara kita lepas dari ketergantungan dengan pasar tradisional AS dan Eropa,” kata dia pada 31 Oktober lalu.

Meski begitu, rata-rata PDB per kapita negara OECD jauh lebih tinggi dibandingkan BRICS. Artinya, masalah kesejahteraan masih menjadi isu yang harus dibenahi negara-negara BRICS.

OECD memiliki regulasi yang jauh lebih rumit. Organisasi ini tak hanya fokus mendorong perbaikan ekonomi, tetapi juga reformasi tata kelola institusi dan regulasi yang terstandardisasi dan cukup ketat. 

Perbedaan visi OECD dan BRICS semakin lebih jelas ketika memperhatikan perbedaan proses aksesi dari dua blok ini. Dalam dokumen peta jalan aksesi Indonesia ke OECD, setidaknya ada 13 langkah yang perlu dilewati untuk bisa bergabung dengan kelompok negara maju ini.

Pada tahap kedua, Indonesia harus menyusun dokumen kesiapan dan reformasi kebijakan dan institusi untuk menjadi anggota OECD. Setelahnya dokumen komitmen tersebut akan dikaji oleh dewan OECD dan melewati technical review dari sekretariat OECD.

Ada 26 Sekretariat OECD dengan bidang berbeda yang mengkaji dokumen komitmen Indonesia untuk bergabung ke OECD. Sekretariat tak hanya mengkaji perihal kebijakan ekonomi dan perdagangan, tetapi juga transparansi dan anti-korupsi, kebijakan iklim, pendidikan, kesehatan, hingga hal seperti pembuatan kapal.

Di sisi lain, prosedur aksesi menjadi anggota BRICS cenderung lebih sederhana. Proses aksesi ke BRICS ada dalam enam langkah. Dalam dokumen tata cara, prinsip dan standar ekspansi keanggotaannya, BRICS terlihat lebih fokus pada komitmen-komitmen ekonomi. Terlebih, prosesnya tak serumit dan sepanjang aksesi ke OECD.

Artinya, di luar konteks ekonomi, OECD lebih mampu membawa Indonesia tumbuh menjadi negara yang memiliki tata kelola yang lebih baik dalam berbagai sektor serta terstandardisasi dengan jelas.

Huda juga menilai jika akhirnya Indonesia memilih bergabung dengan OECD, Indonesia bisa melakukan reformasi kebijakan dan institusi yang lebih baik. 

“Banyak kebijakan yang sangat bagus bisa kita tiru, soal anti-korupsi, lingkungan, sampai persaingan usaha. Mereka semua sudah punya tools-nya,” ujarnya.

Hati-hati Menentukan Pilihan

Dibandingkan dengan BRICS, neraca dagang Indonesia masih mengalami surplus terhadap OECD yang beranggotakan 38 negara. Nilai ekspor dan impor Indonesia ke BRICS yang hanya beranggotakan sembilan negara itu sebenarnya tak jauh beda dengan OECD. 

Relatif tingginya perdagangan dengan BRICS, lantaran Indonesia masih sangat bergantung dengan Cina. Ketergantungan tersebut terlihat dari defisit dagang Indonesia ke BRICS sebelum 2021. Dari sembilan negara BRICS, porsi ekspor-impor dari Cina ke Indonesia mencapai 70%.  

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menilai, adanya pendaftaran untuk bergabung dengan BRICS semakin menegaskan ketergantungan Indonesia pada Cina. Selain itu, menurut dia, ketergantungan tersebut membuat perekonomian menjadi lebih rapuh.

“Pada saat ekonomi China diproyeksikan menurun 3,4% dalam empat tahun ke depan berdasarkan World Economic Outlook IMF, terdapat kekhawatiran dengan bergabungnya Indonesia ke BRICS justru melemahkan kinerja perekonomian,” kata Bhima dalam keterangan resmi, dikutip 5 November 2024.

Menurut Bhima, kondisi ini idealnya direspons dengan penguatan diversifikasi negara mitra di luar Cina. Senada, Nailul Huda juga menilai bahwa koalisi BRICS juga memunculkan risiko bentrokan kepentingan dengan negara adidaya.

“Potensi perang dagang AS-Cina jika Trump menang akan semakin kental. Ada potensi ekonomi global akan melambat dan berdampak pada koalisi. Ini yang harus diwaspadai, kita juga bisa terdampak jika tidak hati-hati,” ucap Huda.

Editor: Aria W. Yudhistira