Perkembangan modernisasi memicu polusi udara dan menjadi ancaman serius di kota-kota besar. Di Indonesia, utamanya di wilayah perkotaan, seperti wilayah Jakarta, bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), Bandung, hingga Surabaya, dampak polusi udara terhadap kesehatan semakin memburuk dan mengganggu produktivitas.
Masalah kesehatan terkait polusi udara ini dipertegas dengan pernyataan dr. Tirta Mandira Hudhi, seorang influencer sekaligus juga dokter, bahwa dibandingkan dengan masa lampau, tingkat keparahan polusi saat ini semakin mengkhawatirkan bagi kesehatan.
“Kenapa (perokok) zaman dahulu usianya awet-awet? karena zaman dahulu belum ada polusi. Orang zaman dahulu lebih banyak jalan kaki, belum ada kendaraan bermotor dan banyak makan rebus-rebusan, menghindari makanan yang bersifat karsinogenik dan berpengawet. Jika dibandingkan zaman sekarang, orang-orang sudah aktif merokok, mageran, pesan makanan online dan jarang olahraga,” ujar dr. Tirta dalam Podcast Warung Kopi (PWK) yang dipandu oleh komika Praz Teguh ketika membandingkan kondisi kesehatan perokok di masa lampau dan saat ini, Minggu (2/6/2024).
Pernyataan dr. Tirta ini diperkuat dengan temuan Our World in Data yang menobatkan rokok dan polusi udara tersebut masuk ke dalam risiko kesehatan lingkungan terbesar di dunia.
Polusi udara, yang turut memperparah penyakit di dalam diri seseorang, juga masuk ke dalam urutan kedua faktor risiko kematian global dengan negara-negara di Asia Selatan dan Afrika menghadapi beban penyakit tertinggi.
Data Our World in Data pada 2019 menunjukkan urutan teratas dan terbanyak penyebab kematian adalah kontribusi penyakit-penyakit yang berhubungan dengan polusi udara.
Penyakit kardiovaskular menjadi penyebab risiko kematian paling tinggi. Di urutan kedua, penyakit berkaitan dengan saluran pernapasan menjadi penyumbang kematian dan urutan ketiga disebabkan penyakit yang berkaitan dengan pencernaan.
Bahkan, tren kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan pneumonia justru meningkat setelah pandemi. Data Kementerian Kesehatan hingga 17 September 2023 mencatat, 58,3 persen dari 9.983.281 penduduk Jakarta menderita berbagai penyakit akibat polusi udara.
Isu ini juga disoroti oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang menyatakan bahwa ada lebih dari 7 juta kematian dini secara global tiap tahunnya akibat polusi udara.
"Ada 7 juta kematian dini setiap tahun. Ini bukan hanya angka, ancaman serius," beber Menkes dalam pembukaan di Indonesia International Sustainability Forum, Jumat (6/9/2024).
Menurut data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, kelompok usia produktif memiliki peluang kematian paling tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lain.
Berdasarkan temuan dan hasil analisis data peserta Jaminan Kesehatan Nasional dari BPJS, tingkat kematian laki-laki maupun perempuan tertinggi berada pada umur 22 tahun. Adapun jumlahnya masing-masing 2,47 juta jiwa dan 2,32 juta jiwa.
Menurut WHO, 68 ribu orang meninggal di Indonesia akibat dari paparan polusi udara pada 2018.
Penduduk Jabodetabek Kena Imbas Polusi Udara
Di Indonesia, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, dinobatkan sebagai kota dengan tingkat polusi terparah di Indonesia pada 2023 dengan skor kualitas udara mencapai 162.
Tahun lalu, Dinas Kesehatan Tangerang Selatan mencatat ada 29 ribu lebih warga yang terserang ISPA. Kepala Dinas Kesehatan Tangerang Selatan Allin Hendalin menyebutkan bahwa angka kasus ISPA tersebut tercatat sepanjang Januari hingga Agustus 2023.
"Akibat polusi udara kasus ISPA meningkat," kata Allin, melansir dari pemberitaan RRI, Rabu (23/8/2023).
Hingga 27 September 2024, kota Surabaya menjadi kawasan dengan kualitas udara yang masuk dalam kategori tidak sehat dengan skor 153. Kota ini menempati peringkat ke-9 sebagai kota paling berpolusi pada 2023.
Tahun lalu, Dinas Kesehatan Kota Surabaya mencatat kasus ISPA tembus 174.222 selama Januari hingga Juli 2023. Jumlah kasus ini meningkat drastis dibandingkan 2022.
“Keluhan pada sistem pernapasan ini tidak hanya dapat disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri, tapi juga dapat dipicu oleh faktor pencetus seperti penyebab alergi makanan, minuman, binatang, debu (dari polusi udara), dan lainnya,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya Nanik Sukristina, melansir suarasurabaya.net, Kamis (7/9/2023).
Sementara Depok menduduki kota paling berpolusi kedua dengan indeks kualitas udara mencapai 141 yang artinya tidak sehat bagi kelompok sensitif pada 2024. Polusi udara sudah menjadi persoalan sejak tahun lalu. Kota yang menjadi tempat tinggal bagi para pekerja Jakarta ini menempati posisi ke-6 sebagai kota dengan kandungan PM2.5 terparah di 2023.
Dampak keparahan polusi udara terhadap kesehatan memang tak bisa dipandang sebelah mata. Peneliti Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC UI) Prof. Dr. Budi Haryanto, dalam kesempatan wawancara dengan Katadata Green menyebutkan, polusi udara cenderung menimbulkan gangguan kesehatan serius.
“Terkait efek kesehatan, polusi dapat dilihat dari sudut pandang efek jangka pendek (short term effect), biasanya pencemar yang terhirup oleh kita dan berada di hidung sampai saluran pernafasan atas, seperti batuk, pilek, dan lainnya,” ujar Budi kepada tim Katadata Green, Rabu (3/7/2024).
Namun menurut Budi, hal yang lebih berbahaya dari polusi udara adalah senyawa kimia yang terhirup masuk hingga saluran atas bagian bawah dan masuk ke jantung, paru-paru serta dalam darah.
“Hal yang perlu diperhatikan, jika senyawa kimia tertentu dari polusi udara ini mencapai target organ. Artinya, senyawa kimia dari polusi udara ini akan suka berada pada organ yang memiliki valensi kimia yang sama dengan senyawa polusi,” ujar Budi.
Budi menjelaskan bahwa pencemar ini akan mempengaruhi tubuh dalam jangka panjang. Polusi dapat memicu penyakit kronis hingga penyakit lainnya.
“Kaitannya dengan penurunan fungsi IQ, menyebabkan risiko demensia, hingga gangguan mental dan yang berbahaya lagi bisa merusak tulang, otak, jantung, ginjal, hingga sistem reproduksi,” kata Budi melanjutkan.
Menurut Budi, polusi udara juga rentan menimbulkan masalah kesehatan mental pada masyarakat yang terpapar.
“Kecemasan, alzheimer, demensia dan depresi terkait dengan gangguan pada sistem otak, banyak senyawa kimia yang terbawa dalam polusi (logam berat) bisa berefek langsung pada susunan saraf pusat, dan bisa berdampak pada kesehatan mental,” kata Budi.
Solusi Mengurangi Dampak Buruk Polusi
Budi menekankan bahwa persoalan polusi udara perlu diatasi secara kolektif.
“Kita bisa melihat dari dua sisi. Pertama, dari sumber pencemar yang harusnya bisa dikendalikan, misalnya dari sarana transportasi seperti motor dan mobil. Mengingat, kendaraan bermotor masih menggunakan kualitas bahan bakar yang rendah di bawah standar EURO 2 yang menjadi sumber pencemar yang dominan,” ujar Budi.
Tidak hanya transportasi, perlu ada penegakan peraturan untuk sektor industri, sebagai salah satu pencemar, melalui pengawasan dan punishment berdasarkan undang-undang.
Di lain pihak, perlu adanya peningkatan kualitas bahan bakar minyak (BBM) untuk perbaikan kualitas udara dan mengurangi polusi.
Ini karena sebanyak 47 persen polusi udara berasal dari aktivitas transportasi, dengan sepeda motor menyumbang 63 persen dan mobil pribadi menyumbang 21 persen di antaranya.
Menurut studi Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) menemukan,
Polutan yang paling banyak dihasilkan dari kendaraan bermotor masih didominasi oleh karbon monoksida (CO) yang mencapai 62,86 ton per hari.
Untuk itu, salah satu cara dalam memperbaiki kualitas udara adalah dengan meningkatkan kualitas BBM. Dalam hal ini, BBM bersih menjadikan kendaraan efisien dan ramah lingkungan karena mengurangi emisi CO, NOx, SO2, partikel, dan VOCs. Dengan semakin baiknya kualitas udara, dampak Kesehatan dan beban biaya pengobatan juga akan berkurang.
Pemerintah Indonesia juga terus mengupayakan perbaikan kualitas udara. Beberapa strateginya adalah mendorong pemanfaatan transportasi publik dan adopsi kendaraan listrik dengan pemberian insentif. Kota seperti DKI Jakarta juga tengah mengembangkan pembangunan kawasan rendah emisi (Low Emission Zone /LEZ) di kawasan Kota Tua dan Tebet Eco Park.
Melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK Nomor 20/Setjen/Kum.1/3/2017 yang mendorong kendaraan bermotor menggunakan BBM dengan standar emisi gas buang Euro 4 atau memiliki kandungan sulfur maksimal 50 ppm.
Namun, bensin dan solar dengan spesifikasi standar EURO 4 (RON 95, RON 98, dan CN 53) tercatat masih kurang dari satu persen dari total konsumsi BBM nasional.
Sebagai informasi, EURO 4 adalah standar yang menetapkan batas pada polutan dalam emisi gas buang kendaraan bermotor dari pembakaran bahan bakar, seperti sulfur dan karbon monoksida, dan nitrogen oksida.
Terkait inisiatif beralih ke transportasi publik, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyodorkan alternatif untuk mendorong sektor transportasi lebih berbenah diri dengan menggunakan strategi Avoid-Shift-Improve (ASI).
Strategi avoid, berkaitan dengan travel demand management atau mengurangi jarak tempuh manusia. Salah satu kebijakan yang dapat diterapkan adalah bekerja dari rumah (work from home) atau membatasi durasi bepergian sekitar 15 menit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Strategi shift adalah dengan berpindah menggunakan kendaraan yang lebih rendah emisi, termasuk menggunakan kendaraan listrik dan peningkatan transportasi umum.
Strategi improve adalah dengan meningkatkan efisiensi energi dari kendaraan yang digunakan. IESR juga menyodorkan alternatif standar fuel economy yakni pengukuran efisiensi jarak tempuh kendaraan (kilometer/km) tiap unit volume bahan bakar (liter).
Editor: Padjar Iswara