Perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga menekan pertumbuhan ekonomi nasional. BPS menyebut adanya pergeseran konsumsi kelompok menengah atas. Sedangkan kelompok menengah bawah tertekan karena memiliki nilai tukar dan upah yang stagnan
Nazmi Haddyat Tamara
Oleh Nazmi Haddyat Tamara
25 November 2017, 07.24

Pertumbuhan Ekonomi kuartal III tahun ini hanya mencapai 5,06 persen. Meski  lebih tinggi dibanding dua kuartal sebelumnya yang sebesar 5,01 persen, angka tersebut masih di bawah prediksi Bank Indonesia dan pemerintah yang masing-masing mematok 5,17 dan 5,2 persen.

 
 

Konsumsi rumah tangga yang masih lemah dianggap sebagai penyebab melesetnya pertumbuhan kuartal III. Konsumsi rumah tangga pada periode tersebut hanya tumbuh 4,93 persen, lebih rendah dibanding pertumbuhan kuartal sebelumnya (4,95 persen), dan dibanding kuartal yang sama pada 2016 yang mencapai 5,01 persen. Padahal, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB).


Secara sederhana, daya beli adalah nilai mata uang yang dinyatakan dalam jumlah barang dan jasa yang diperoleh dari satu unit mata uang itu. Namun, dalam pembahasan daya beli yang melemah, daya beli dapat diartikan sebagai kemampuan masyarakat dalam membeli barang dan jasa.

Berbagai spekulasi penyebab perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga bermunculan. Yang paling mengemuka adalah melemahnya daya beli masyarakat. Katadata mengumpulkan sejumlah data sebagai bahan untuk memperkaya diskusi ihwal perlambatan konsumsi tersebut. Benarkah daya beli melemah? Kelompok mana yang mengalami pelemahan daya beli? 

Pengertian daya beli ini erat kaitannya dengan pendapatan dan tingkat harga (inflasi). Daya beli masyarakat disebut menurun jika pendapatan nominal turun atau harga meningkat atau keduanya. Dengan kata lain, sepanjang kenaikan pendapatan lebih cepat dibanding kenaikan harga, daya beli akan meningkat.

Pergeseran Konsumsi Masyarakat Menengah Atas

Rilis Pertumbuhan Ekonomi Badan Pusat Statistik menyebutkan hampir semua komponen konsumsi utama mengalami perlambatan. Makanan dan minuman (selain restoran) tumbuh 5,04 persen, lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 5,23 persen. Demikian juga konsumsi pakaian, alas kaki, dan jasa perawatan hanya tumbuh 2 persen, melambat dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai 2,24 persen.

 
 

Di tengah pelemahan kelompok konsumsi lainnya, konsumsi di sektor restoran dan hotel justru mengalami kenaikan dibanding periode yang sama tahun lalu. Komponen yang dianggap sebagai belanja leisure ini tercatat tumbuh 5,52%, naik dibanding periode sama tahun lalu yang sebesar 5,01%. Data tersebut mengindikasikan kecenderungan pergerseran konsumsi masyarakat dari non-leisure ke leisure.

Meski perlu didukung data yang lebih lengkap, dapat diprediksi bahwa pergesaran belanja tersebut terjadi pada kelompok menengah dan atas. Selain mengubah orientasi belanja, kelompok ini juga menambah alokasi pendapannya untuk menabung dan investasi. Hal ini tecermin dari data akselerasi kenaikan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan sejak 2016.

 
 

Sepanjang  2017, pertumbuhan DPK tiap bulan dibanding tahun sebelumnya berada di kisaran 9-11 persen. Bahkan, pada September 2017 mencapai 11,69 persen. Adapun total pertumbuhan DPK sepanjang tahun ini secara agregat sudah mencapai 6,58 persen. Angka ini meningkat jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya 5 persen.  Sebaliknya, kredit yang disalurkan perbankan hanya tumbuh dibawah 5 persen selama setahun terakhir. Walhasil, dana masyarakat yang mengendap di perbankan mengalami peningkatan.

Daya Beli Masyarakat Menengah Bawah Melemah

Jika kelompok menengah atas mengalami perubahan konsumsi dan pengalihan pendapatan, apakah lantas perlambatan ekonomi dan konsumsi rumah tangga disebabkan oleh kelompok menengah ke bawah?

Nilai tukat petani (NTP) dapat menjadi salah satu indikasi penurunan daya beli pada kelompok bawah. Sejak awal tahun, pergerakan NTP cenderung stagnan. Hal ini menunjukkan kesejahteraan petani belum membaik.

 
 

Selanjutnya, upah riil buruh bangunan merosot 0,45 persen dalam kurun Januari hingga Oktober 2017. Pada kurun waktu yang sama, upah riil buruh tani hanya meningkat 2,15 persen, jauh di bawah angka inflasi.

Belanja Konsumen

Konsumen berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (26/9) | ANTARA FOTO/R. Rekotomo

Melemahnya daya beli pada masyarakat menengah bawah juga ditunjukkan oleh melambatnya konsumsi barang konsumsi atau kebutuhan konsumen (Fast Moving Consumer Goods/FMCG) dalam sembilan bulan pertama di 2017.

Menurut data Nielsen, penjualan barang konsumsi selama periode Januari-September 2017 hanya tumbuh 2,7 persen. Angka ini melanjutkan tren perlambatan penjualan FMCG yang tahun lalu hanya tumbuh 7,7 persen, atau di bawah rata-rata pertumbuhan selama lebih 10 tahun terakhir yang mencapai 11 persen.

 
 

Lebih jauh, Nielsen menyebutkan penyebab pelemahan daya beli adalah turunnya angka pendapatan atau take home pay. Padahal, komponen biaya hidup, seperti tarif listrik, makanan, dan pendidikan terus meningkat.

Ekonom Faisal Basri, dalam laman pribadinya menyebutkan salah satu penyebab pelemahan daya beli pada kelompok bawah adalah pencabutan subsidi listrik untuk pelanggan 900 VA, yang berdampak bagi 19 juta konsumennya. Akibatnya, pengeluaran rerata kelompok ini untuk listrik naik tajam dari Rp 80.000 per bulan menjadi Rp 170.000 per bulan.

Meski demikian, secara keseluruhan, porsi belanja masyarakat menengah ke bawah ini hanya 17 persen.  Artinya, belum terlalu berefek besar pada daya beli masyarakat secara keseluruhan. Sepanjang kelompok menengah atas masih terkendali, walaupun ada penurunan daya beli, maka tidak akan signifikan besarannya.

***

Nazmi Haddyat Tamara adalah Data Analyst dan Statistician Katadata. Saat ini, dia mengisi posisi tim Data pada divisi Riset dan Data Katadata. Menempuh pendidikan pada jurusan Statistika IPB dan telah berpengalaman dalam pengolahan dan analisis data pada berbagai topik. 

Catatan:

Semua data yang diolah pada tulisan ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Otoritas Jasa Keuangan, dan Nielsen Company Indonesia.

Editor: Nazmi Haddyat Tamara