Rasio perbandingan guru dan murid dianggap sebagai faktor penting yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Namun, bila merujuk pada nilai ujian nasional (UN), sebagian daerah dengan jumlah guru yang lebih banyak masih mengalami ketertinggalan.
Nazmi Haddyat Tamara
Oleh Nazmi Haddyat Tamara
12 Desember 2017, 13.05

Perbaikan kualitas pendidikan merupakan salah satu prasyarat penting keberhasilan pembangunan sumber daya manusia. Oleh sebab itu, lebih dari satu dekade terakhir, pemerintah, berdasarakan amanat konstitusi, mengalokasi 20 persen dari anggaran belanja negara (APBN) untuk sektor pendidikan. Tahun ini, total alokasi anggaran pendidikan sebesar Rp 416 triliun.

Namun, dengan dana besar, kualitas pendidikan dan SDM di negeri ini dianggap belum mengalami perbaikan berarti. Laporan Global Human Capital Report 2017 yang diterbitkan World Economic Forum (WEF) menempatkan Indonesia di peringkat 65 dari 130 negara. Di Asia Tenggara, Indonesia bahkan berada di bawah Singapura (11), Malaysia (33), Thailand (40), Filipina (50), Brunei (58), dan Vietnam (64).

Guru Mengajar

Suasana proses belajar mengajar | Katadata

Dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan, salah satu sasaran prioritas pemerintah Indonesia adalah menambah jumlah tenaga pengajar. Lebih dari separuh alokasi anggaran pendidikan, Rp 247 triliun, digunakan untuk belanja gaji dan tunjangan guru. Selama ini, tingginya rasio guru dan murid, terutama di kawasan pelosok, dianggap sebagai penyebab tidak efektifnya proses belajar mengajar.

Lalu, sejauh mana efektivitas rasio guru terhadap peningkatan kualitas pendidikan? Tentu, banyak variabel yang diperlukan untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut. Namun, membandingkan rasio guru di tiap daerah dengan hasil nilai ujian nasional (UN)--meski parameter ini juga dapat diperdebatkan karena banyak kritik terhadap pelaksanaan UN--dapat memberi gambaran sederhana bagi pembaca.

Data rasio guru dan nilai UN 2017 yang diperoleh Katadata menunjukkan bahwa rasio guru yang rendah (satu guru mengajar sedikit murid), tak menjamin para siswa mendapat nilai ujian yang baik. Memang, secara umum, daerah yang memiliki nilai UN tinggi memiliki rasio guru yang rendah (1: ≤15). Namun, masih banyak daerah dengan rasio guru yang kecil juga memiliki nilai UN yang rendah, di bawah 50.

Grafik berikut merupakan perbandingan rasio guru dan nilai UN kategori SMP. Daerah dengan nilai UN di atas 50 memang memiliki rasio guru yang rendah. Namun, sebagian daerah--dengan pengecualian Jakarta dan Jawa Barat karena adanya jam belajar tambahan--juga memiliki nilai UN di atas 50 dengan rasio guru yang tinggi. Bahkan sebagian daerah dengan rasio guru kecil pun mendapat nilai UN rendah.

 
 
  • Siswa sedikit, nilai UN tinggi
  • Siswa sedikit, nilai UN rendah
  • Siswa banyak, nilai UN tinggi
  • Siswa banyak, nilai UN rendah

Selanjutnya kategori SMA, baik IPA maupun IPS, pola umum yang ditemukan cenderung mirip. Porsi nilai UN yang tinggi masih dipegang daerah yang memiliki rasio guru yang kecil. Namun, masih ada beberapa daerah yang memiliki rasio guru kecil, tetap mendapatkan nilai UN rendah. Aceh menjadi daerah dengan rasio guru-siswa paling rendah (10.85), namun mendapatkan nilai 33.00 untuk IPA dan 35.00 untuk IPS.

 
 
 
 
  • Siswa sedikit, nilai UN tinggi
  • Siswa sedikit, nilai UN rendah
  • Siswa banyak, nilai UN tinggi
  • Siswa banyak, nilai UN rendah

Adapun untuk kategori SMK, rasio guru dan murid terasa lebih berdampak terhadap nilai UN. Hanya satu daerah, yaitu Provinsi Aceh, dengan rasio guru rendah namun memiliki UN yang rendah pula. Selebihnya, sesuai dengan asusmsi bahwa jumlah pengajar yang lebih banyak akan meningkatkan kualitas (baca: hasil UN) pendidikan, dan sebaliknya, daerah dengan rasio guru-murid besar, seperti Banten, hanya mendapat UN 41,3.

 
 
  • Siswa sedikit, nilai UN tinggi
  • Siswa sedikit, nilai UN rendah
  • Siswa banyak, nilai UN tinggi
  • Siswa banyak, nilai UN rendah

Dengan memperhatikan data perbandingan rasio guru-murid dan nilai UN, idealnya seorang guru mengajar lebih sedikit murid agar tercipta suasana kondusif dalam kegiatan belajar mengajar sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan (nilai UN). Namun hal ini perlu diimbangi dengan berbagai program pendukung lainnya. Misalnya, peningkatan kualitas guru, perbaikan kurikulum, hingga sarana dan prasarana pendidikan.

***

Nazmi Haddyat Tamara adalah Data Analyst dan Statistician Katadata. Saat ini, dia mengisi posisi tim Data pada divisi Riset dan Data Katadata. Menempuh pendidikan pada jurusan Statistika IPB dan telah berpengalaman dalam pengolahan dan analisis data pada berbagai topik. 

Catatan:

Semua data yang diolah pada tulisan ini diperoleh dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Editor: Nazmi Haddyat Tamara