Kisah Perawat Terpapar Corona dari Pasien yang Alami Stigma Covid-19
Banyak cerita seputar pengalaman penderita dan penyintas Covid-19. Salah satunya datang dari Faranisa, seorang perawat di Yogyakarta. Kepada Kawalcovid19.id dia bercerita, dirinya terpapar virus corona lantaran ketidakjujuran keluarga salah satu pasien ICU yang positif Covid-19, tetapi keluarganya tidak memberi tahu perawat.
Faranisa bekerja sebagai perawat di rumah sakit rujukan Covid-19 dan bertugas di ICU. Di rumah sakit tempatnya mengabdi, pasien terpapar virus corona akan ditempatkan di bangsal dengan petugas kesehatan terpisah. Namun seorang pasien dan keluarganya berbohong kepada pihak rumah sakit.
Pada 26 Mei 2020, pasien tersebut dipindahkan dari bangsal ke ICU karena kondisi memburuk dan kemungkinan membutuhkan intubasi serta ventilator. Lantaran dinyatakan tak ada indikasi Covid-19, dan baru dua hari di bangsal, perawat hanya mengenakan APD level dua.
Ketika si pasien sudah di ICU, dokter memutuskan untuk langsung intubasi dan memasang ventilator. Yang bertugas untuk intubasi ada tiga orang, salah satunya adalah Faranisa. Keesokan hari, 27 Mei, barulah keluarga pasien datang memberi kabar bahwa sebetulnya pasien dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan hasil swab di RS lain.
Dan singkat cerita, perawat yang bertugas intubasi termasuk Faranisa seketika langsung menjalani isolasi mandiri. Benar, akhirnya perawat asal Bandung ini dinyatakan positif Covid-19. Dari petugas intubasi kemudian berganti menjadi pasien yang harus diintubasi dan dipasangi ventilator.
“Saya ingin mengimbau teman-teman agar tidak berbohong ketika periksa ke pelayanan kesehatan terutama pada masa pandemi seperti ini. Ketika pasien positif Covid-19 berbohong, pasien tersebut dapat menulari banyak orang,” ujar Faranisa.
Di dalam salah satu jurnal kesehatan masyarakat dari Universitas Negeri Gorontalo bertajuk “Stigma terhadap Orang Positif Covid-19” dikemukakan, salah satu penyebab mereka (pasien) berbohong adalah arus informasi mengenai virus corona yang sangat masif. Ada informasi negatif, dan ada informasi positif.
Lebih jauh dipaparkan bahwa, “secara psikologis, manusia lebih mudah menyerap informasi negatif dan membuat hal itu menjadi sesuatu yang kita percaya. Hal ini berkaitan erat dengan minimnya literasi mengenai kesehatan. Ketidakmampuan menyeimbangkan informasi positif dan negatif serta minimnya literasi kesehatan menimbulkan apa yang disebut sebagai stigma”.
Stigma yang muncul dalam kasus ini adalah pasien yang positif Covid-19 akan dijauhi, diisolasi, jauh dari keluarganya, dan lain-lain. Selain itu juga pertanyaan; apakah pasien akan sembuh sepenuhnya, atau akan menginfeksi orang terdekatnya.
Stigma yang melekat kepada penyakit Covid-19 termasuk penderita, penyintasnya, dan tenaga kesehatan (nakes) membuat upaya penanganan pandemi menjadi semakin kompleks. Pasalnya, stigma sosial menyebabkan perilaku diskriminatif, seperti pengusiran bahkan pengucilan.
Satgas Penanganan Covid-19 menyatakan bahwa lantaran enggan berhadapan dengan stigma tersebut maka penderita memilih menyembunyikan kondisi kesehatannya. Sikap ini sebetulnya justru semakin menghalangi seorang penderita Covid-19 dari akses layanan kesehatan yang tepat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, yang dimaksud stigma sosial dalam konteks kesehatan adalah pengaitan negatif antara seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kesamaan ciri dan penyakit tertentu.
Dalam suatu wabah, stigma sosial berarti orang-orang diberi label, distereotipkan, didiskriminasi, diperlakukan secara berbeda, dan/atau mengalami kehilangan status karena dianggap memiliki keterkaitan dengan suatu penyakit.
Perlakuan semacam itu dapat berdampak negatif bagi mereka yang menderita penyakit, pemberi perawatan, keluarga, teman, maupun komunitas mereka. Orang yang tidak mengidap penyakit tersebut tetapi memiliki karakteristik yang sama dengan kelompok ini mungkin juga mengalami stigma.
WHO membenarkan bahwa wabah Covid-19 saat ini memicu stigma sosial dan perilaku diskriminatif terhadap orang-orang dari latar belakang etnis tertentu, serta siapa pun yang diduga pernah berkontak dengan virus tersebut. Sebetulnya wajar jika ada kebingungan, kecemasan, dan ketakutan di kalangan masyarakat terkait Covid-19. Sayangnya, faktor-faktor ini turut memicu stereotip yang merugikan.
Banyaknya stigma yang melekat kepada Covid-19 dipengaruhi berapa hal, yaitu penyakit ini terbilang baru dan masih banyak yang belum memahami. Selain itu, masyarakat rentan mengalami rasa takut terhadap apa yang tak dipahaminya. Dan, ketakutan yang ada mudah dikaitkan dengan 'orang lain'.
Stigma perlu dilawan bersama. Caranya dengan mulai membekali diri dengan informasi yang akurat, mengenali sumber informasi terpercaya untuk hindari kesalahpahaman, gosip, dan informasi keliru yang sebabkan stigma dan diskriminasi. Selayaknya kita menumbuhkan rasa saling peduli di tengah masa pandemi ini.
Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan