14 Poin Krusial dalam Revisi KUHP

Aryo Widhy Wicaksono
29 Juni 2022, 16:24
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Reformasi KUHP melakukan aksi unjuk rasa tolak RKHUP di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (28/6/2022).
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Reformasi KUHP melakukan aksi unjuk rasa tolak RKHUP di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (28/6/2022).

Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) telah menggelar unjuk rasa pada Selasa (28/6), untuk menyatakan rasa kecewa mereka. Tuntutan mengenai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tak kunjung dipenuhi Presiden Joko Widodo dan anggota legislatif.

Unjuk rasa ini buntut dari pernyataan sikap dan tuntutan Aliansi Nasional Kawal RKUHP pada 21 Juni 2022. Saat itu, aliansi meminta agar draf terbaru RKUHP dibua secara transparan kepada publik, dan mencabut beberapa pasal yang mereka nilai melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sebab mereka menilai terdapat lebih banyak persoalan dari 14 isu krusial yang menjadi pokok pembahasan dalam RKUHP.

Pada pembahasan terakhir antara pemerintah dengan Komisi III DPR pada 25 Mei 2022 lalu, eksekutif dan legislatif sepakat mengenai 14 isu krusial dalam RKUHP. Langkah selanjutnya, berarti beleid ini tinggal mendapatkan persetujuan untuk membahas pembicaraan pada tingkat II dan pengesahan pada Rapat Paripurna DPR.

Berikut adalah 14 isu krusial yang disepakati:

  • Hukum yang Hidup (Living Law)

Pada Pasal 2 dan Pasal 595 mengakui adanya hukum yang hidup di masyarakat sebagai acuan untuk mempidanakan seseorang, jika perbuatan itu tidak diatur dalam KUHP.

Hukum yang hidup dalam masyarakat dalam RKUHP yang dapat menentukan bahwa seseorang patut dipidana adalah hukum pidana adat.

Aturan ini dapat diutamakan dengan kondisi tertentu, yaitu berlaku hanya pada tempat hukum adat tersebut berlaku, tidak diatur dalam KUHP, dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat.

Pemenuhan kewajiban adat setempat dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana.

  • Pidana Mati

Pada RKUHP pemerintah mengusulkan untuk mengubah beberapa pasal yang mengatur mengenai ketentuan pidana hukuman mati. Pemerintah pun meminta adanya perubahan pada Pasal 67, 98, 99, 100, 101, dan 102.

Pemerintah mengusulkan untuk menempatkan pidana mati sebagai pidana yang paling terakhir dijatuhkan, untuk mencegah dilakukannya tindak pidana.

Pidana mati selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara waktu tertentu, yaitu paling lama 20 tahun dan pidana penjara seumur hidup.

Kemudian, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun apabila memenuhi persyaratan.

  • Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden

Pasal ini termasuk salah satu yang menjadi kontroversi di masyarakat. Sebab pada Pasal 218 mengatur setiap orang yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabar presiden dan wakil presiden dapat dipidana maksimal 3,5 tahun penjara.

Selain itu, pada Pasal 220 menjelaskan pidana ini merupakan menjadi delik aduan.

Pemerintah telah menjelaskan bahwa ketentuan ini tidak bertujuan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik atau pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah.

Pemerintah menjelaskan, pada dasarnya pidana ini merupakan merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri presiden atau wakil presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.
Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang tercela dilihat dari aspek moral, agama, nilai kemasyarakatan, serta nilai HAM.

  • Menyatakan Diri Dapat Melakukan Tindak Pidana karena Memiliki Kekuatan Gaib.

Pada ketentuan pidana ini, pemerintah mengurangi ancaman pidana dengan Modified Delphi Method, sehingga menjadi 1,5 tahun. Kemudian memperbaiki penjelasan dengan menghapus frasa "ilmu hitam" untuk mencegah kerancuan.

Pidana ini juga masuk ke dalam delik materiil yang dapat dipidana karena perbuatannya menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang.

Pemerintah mengakui tindak pidana ini merupakan tindak pidana baru khas Indonesia yang perlu dikriminalisasi karena sifatnya yang sangat kriminogen, yaitu dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana lain. Selain itu, juga viktimogen, di mana secara potensial dapat menyebabkan kerugian berbagai kepentingan.

Di samping itu, kriminalisasi juga dimaksudkan untuk melindungi kepentingan individual, seperti mencegah praktik penipuan.

Selanjutnya melindungi kepentingan sosial, seperti melindungi religiusitas dan ketentraman hidup beragama yang terlecehkan oleh perbuatan syirik.

  • Dokter atau Dokter Gigi yang Melaksanakan Pekerjaan Tanpa Izin

Pemerintah memutuskan untuk menghapus Pasal 276 yang mengatur mengenai praktik dokter. Alasannya, menjalankan profesi dokter, dokter gigi, dan tukang gigi tanpa izin tidak mendapatkan sanksi penjara. Hal ini sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang diperkuat dengan Putusan MK 40/PUU-X/2012.

  • Contempt of court

Pemerintah mengubah formulasi pada Pasal 281 yang mengatur mengenai penghinaan terhadap pengadilan. Terutama pada huruf c yang menyatakan setiap orang yang tanpa izin merekam, mempublikasikan secara langsung, atau memperbolehkan untuk mempublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung.

Menurut pemerintah, reformulasi ini ditujukan untuk mencegah adanya live streaming atau siaran langsung saat sidang bergulir. Tujuannya demi ketertiban umum, dan untuk menghindari opini publik yang dapat mempengaruhi putusan hakim.

Selain itu, hal ini juga bertujuan untuk mencegah para saksi yang belum memberikan keterangan mengetahui kesaksian yang telah disampaikan saksi lainnya.

  • Unggas yang Merusak Kebun yang Ditaburi Benih

Pemerintah memutuskan untuk menambahkan frasa "yang menimbulkan kerugian" pada Pasal 278 yang mengatur mengenai setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain.

Perubahan ini membuatnya menjadi delik materiil.

Ketentuan pasal ini merupakan materi yang sebelumnya telah diatur dalam KUHP lama, dan saat ini di wilayah pedesaan masih diperlukan untuk melindungi para petani.

  • Advokat yang Curang

Pemerintah memutuskan untuk menghapus Pasal 282 mengenai pidana penjara lima tahun untuk advokat yang menjalankan pekerjaannya secara curang, yaitu mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan kliennya, atau mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau kahim dalam perkara.

  • Penodaan Agama

Pada Pasal 304, setiap orang yang menyatakan perasaan atau melakuan perbuatan bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama di Indonesia mendapatkan pidana maskimal lima tahun.

Pemerintah mengusulkan untuk mengubah pasal tersebut, menjadi setiap orang di muka umum yang:

  1. Melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan;
  2. Menyatakan kebencian atau permusuhan; atau
  3. Menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
  • Penganiayaan Hewan

Pada Pasal 342 ayat 1 huruf (a) menyangkut penganiayaan hewan, pemerintah mengusulkan untuk mengganti frasa berpengaruh menjadi merusak, sehingga aturan tersebut berbunyi: "Menggunakan dan memanfaatkan hewan di luar kemampuan kodratnya yang dapat merusak kesehatan, mengancam keselamatan, atau menyebabkan kematian hewan".

Selanjutnya pada penjelasan, ditambahkan keterangan yang dimaksud dengan "kemampuan kodrat" adalah kemampuan hewan yang alamiah.

  • Alat Pencegah Kehamilan dan Pengguguran Kandungan

Pada Pasal 414, 415, dan 416 yang mengatur mengenai alat kontrasepsi, pemerintah memutuskan tidak mengubah aturan tersebut. Sebab, ketentuan ini untuk memberikan pelindungan kepada anak agar terbebas dari seks bebas.

Selain itu, tidak ditujukan bagi orang dewasa dan terdapat pengecualian jika dilakukan untuk program Keluarga Berencana (KB), pencegahan penyakit menular seksual, kepentingan pendidikan, dan ilmu pengetahuan.

Kemudian juga terdapat pengecualian untuk pendidikan, termasuk apabila yang melakukan adalah relawan kompeten yang ditunjuk pejabat berwenang.

Pasal 414 sampai 416 juga dinilai sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.

Perubahan terjadi pada penjelasan yang menerangkan frasa “secara terang-terangan” adalah secara langsung melakukan perbuatan tersebut kepada anak. Sedangkan yang dimaksud dengan “alat untuk untuk meggugurkan kandungan” adalah setiap benda yang menurut sifat penggunaannya dapat menggugurkan kandungan seseorang.

Halaman:
Reporter: Aryo Widhy Wicaksono
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...