14 Poin Krusial dalam Revisi KUHP
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) telah menggelar unjuk rasa pada Selasa (28/6), untuk menyatakan rasa kecewa mereka. Tuntutan mengenai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tak kunjung dipenuhi Presiden Joko Widodo dan anggota legislatif.
Unjuk rasa ini buntut dari pernyataan sikap dan tuntutan Aliansi Nasional Kawal RKUHP pada 21 Juni 2022. Saat itu, aliansi meminta agar draf terbaru RKUHP dibua secara transparan kepada publik, dan mencabut beberapa pasal yang mereka nilai melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sebab mereka menilai terdapat lebih banyak persoalan dari 14 isu krusial yang menjadi pokok pembahasan dalam RKUHP.
Pada pembahasan terakhir antara pemerintah dengan Komisi III DPR pada 25 Mei 2022 lalu, eksekutif dan legislatif sepakat mengenai 14 isu krusial dalam RKUHP. Langkah selanjutnya, berarti beleid ini tinggal mendapatkan persetujuan untuk membahas pembicaraan pada tingkat II dan pengesahan pada Rapat Paripurna DPR.
Berikut adalah 14 isu krusial yang disepakati:
- Hukum yang Hidup (Living Law)
Pada Pasal 2 dan Pasal 595 mengakui adanya hukum yang hidup di masyarakat sebagai acuan untuk mempidanakan seseorang, jika perbuatan itu tidak diatur dalam KUHP.
Hukum yang hidup dalam masyarakat dalam RKUHP yang dapat menentukan bahwa seseorang patut dipidana adalah hukum pidana adat.
Aturan ini dapat diutamakan dengan kondisi tertentu, yaitu berlaku hanya pada tempat hukum adat tersebut berlaku, tidak diatur dalam KUHP, dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat.
Pemenuhan kewajiban adat setempat dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana.
- Pidana Mati
Pada RKUHP pemerintah mengusulkan untuk mengubah beberapa pasal yang mengatur mengenai ketentuan pidana hukuman mati. Pemerintah pun meminta adanya perubahan pada Pasal 67, 98, 99, 100, 101, dan 102.
Pemerintah mengusulkan untuk menempatkan pidana mati sebagai pidana yang paling terakhir dijatuhkan, untuk mencegah dilakukannya tindak pidana.
Pidana mati selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara waktu tertentu, yaitu paling lama 20 tahun dan pidana penjara seumur hidup.
Kemudian, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun apabila memenuhi persyaratan.
- Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden
Pasal ini termasuk salah satu yang menjadi kontroversi di masyarakat. Sebab pada Pasal 218 mengatur setiap orang yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabar presiden dan wakil presiden dapat dipidana maksimal 3,5 tahun penjara.
Selain itu, pada Pasal 220 menjelaskan pidana ini merupakan menjadi delik aduan.
Pemerintah telah menjelaskan bahwa ketentuan ini tidak bertujuan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik atau pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah.
Pemerintah menjelaskan, pada dasarnya pidana ini merupakan merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri presiden atau wakil presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.
Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang tercela dilihat dari aspek moral, agama, nilai kemasyarakatan, serta nilai HAM.
- Menyatakan Diri Dapat Melakukan Tindak Pidana karena Memiliki Kekuatan Gaib.
Pada ketentuan pidana ini, pemerintah mengurangi ancaman pidana dengan Modified Delphi Method, sehingga menjadi 1,5 tahun. Kemudian memperbaiki penjelasan dengan menghapus frasa "ilmu hitam" untuk mencegah kerancuan.
Pidana ini juga masuk ke dalam delik materiil yang dapat dipidana karena perbuatannya menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang.
Pemerintah mengakui tindak pidana ini merupakan tindak pidana baru khas Indonesia yang perlu dikriminalisasi karena sifatnya yang sangat kriminogen, yaitu dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana lain. Selain itu, juga viktimogen, di mana secara potensial dapat menyebabkan kerugian berbagai kepentingan.
Di samping itu, kriminalisasi juga dimaksudkan untuk melindungi kepentingan individual, seperti mencegah praktik penipuan.
Selanjutnya melindungi kepentingan sosial, seperti melindungi religiusitas dan ketentraman hidup beragama yang terlecehkan oleh perbuatan syirik.
- Dokter atau Dokter Gigi yang Melaksanakan Pekerjaan Tanpa Izin
Pemerintah memutuskan untuk menghapus Pasal 276 yang mengatur mengenai praktik dokter. Alasannya, menjalankan profesi dokter, dokter gigi, dan tukang gigi tanpa izin tidak mendapatkan sanksi penjara. Hal ini sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang diperkuat dengan Putusan MK 40/PUU-X/2012.
- Contempt of court
Pemerintah mengubah formulasi pada Pasal 281 yang mengatur mengenai penghinaan terhadap pengadilan. Terutama pada huruf c yang menyatakan setiap orang yang tanpa izin merekam, mempublikasikan secara langsung, atau memperbolehkan untuk mempublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung.
Menurut pemerintah, reformulasi ini ditujukan untuk mencegah adanya live streaming atau siaran langsung saat sidang bergulir. Tujuannya demi ketertiban umum, dan untuk menghindari opini publik yang dapat mempengaruhi putusan hakim.
Selain itu, hal ini juga bertujuan untuk mencegah para saksi yang belum memberikan keterangan mengetahui kesaksian yang telah disampaikan saksi lainnya.
- Unggas yang Merusak Kebun yang Ditaburi Benih
Pemerintah memutuskan untuk menambahkan frasa "yang menimbulkan kerugian" pada Pasal 278 yang mengatur mengenai setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain.
Perubahan ini membuatnya menjadi delik materiil.
Ketentuan pasal ini merupakan materi yang sebelumnya telah diatur dalam KUHP lama, dan saat ini di wilayah pedesaan masih diperlukan untuk melindungi para petani.
- Advokat yang Curang
Pemerintah memutuskan untuk menghapus Pasal 282 mengenai pidana penjara lima tahun untuk advokat yang menjalankan pekerjaannya secara curang, yaitu mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan kliennya, atau mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau kahim dalam perkara.
- Penodaan Agama
Pada Pasal 304, setiap orang yang menyatakan perasaan atau melakuan perbuatan bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama di Indonesia mendapatkan pidana maskimal lima tahun.
Pemerintah mengusulkan untuk mengubah pasal tersebut, menjadi setiap orang di muka umum yang:
- Melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan;
- Menyatakan kebencian atau permusuhan; atau
- Menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
- Penganiayaan Hewan
Pada Pasal 342 ayat 1 huruf (a) menyangkut penganiayaan hewan, pemerintah mengusulkan untuk mengganti frasa berpengaruh menjadi merusak, sehingga aturan tersebut berbunyi: "Menggunakan dan memanfaatkan hewan di luar kemampuan kodratnya yang dapat merusak kesehatan, mengancam keselamatan, atau menyebabkan kematian hewan".
Selanjutnya pada penjelasan, ditambahkan keterangan yang dimaksud dengan "kemampuan kodrat" adalah kemampuan hewan yang alamiah.
- Alat Pencegah Kehamilan dan Pengguguran Kandungan
Pada Pasal 414, 415, dan 416 yang mengatur mengenai alat kontrasepsi, pemerintah memutuskan tidak mengubah aturan tersebut. Sebab, ketentuan ini untuk memberikan pelindungan kepada anak agar terbebas dari seks bebas.
Selain itu, tidak ditujukan bagi orang dewasa dan terdapat pengecualian jika dilakukan untuk program Keluarga Berencana (KB), pencegahan penyakit menular seksual, kepentingan pendidikan, dan ilmu pengetahuan.
Kemudian juga terdapat pengecualian untuk pendidikan, termasuk apabila yang melakukan adalah relawan kompeten yang ditunjuk pejabat berwenang.
Pasal 414 sampai 416 juga dinilai sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
Perubahan terjadi pada penjelasan yang menerangkan frasa “secara terang-terangan” adalah secara langsung melakukan perbuatan tersebut kepada anak. Sedangkan yang dimaksud dengan “alat untuk untuk meggugurkan kandungan” adalah setiap benda yang menurut sifat penggunaannya dapat menggugurkan kandungan seseorang.
- Pengguguran Kandungan
Mengenai aborsi, pemerintah mengubah ketentuan pada Pasal 469 menjadi:
(1) Setiap perempuan yang melakukan aborsi dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 empat tahun.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan korban perkosaan yang usia kehamilannya tidak melebihi 12 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.
Selanjutnya pada Pasal 470 diubah menjadi Pasal 468, dan berbunyi:
(1) Setiap Orang yang melakukan aborsi terhadap seorang perempuan:
a. dengan persetujuan perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun; atau
b. tanpa persetujuan perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengakibatkan matinya perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun.
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengakibatkan matinya perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
Kemudian untuk Pasal 471 berubah menjadi Pasal 469, sehingga berbunyi:
(1) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468, pidana dapat
ditambah 1/3 (satu per tiga).
(2) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a dan huruf f.
(3) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan aborsi karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap Korban perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 ayat (2) tidak dipidana.
- Penggelandangan
Terkait masalah ini, diatur pada Pasal 431 yang menyatakan "Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I."
Ketentuan ini tetap, dengan mempertimbangkan ketertiban umum, sehingga sanksi yang diberikan bukan pidana perampasan kemerdekaan seperti penjara, tetapi denda.
Ketentuan mengenai penggelandangan tetap perlu diatur dalam RKUHP mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-X/2012 yang menyebutkan pelarangan hidup bergelandangan tidak berkaitan dengan kewajiban negara memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.
- Perzinahan, Kohabitasi, dan Perkosaan
Perzinahan
Mengenai perzinahan, pemerintah memutuksan untuk mengubah Pasal 417 menjadi Pasal 415, dan berbunyi:
(1) Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.
(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. Suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Persoalan perzinahan ini dirumuskan sebagai delik aduan, dan pengaduan dibatasi hanya dapat diajukan oleh orang yang paling terkena dampak.
Kohabitasi
Mengenai kohabitasi atau hidup bersama-sama, Pasal 418 diubah menjadi Pasal 416, sehingga berbunyi:
(1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Sementara terkait aturan kepala desa yang dapat mengadukan kepada aparat dihapuskan. Pemerintah juga merumuskan pasal ini sebagai delik aduan dan membatasi pengadunya kepada orang yang paling terkena dampak, seperti suami atau istri yang terikat perkawinan, orang tua atau anaknya bagi mereka yang tidak terikat perkawinan.
Perkosaan
Menyangkut perkosaan, pemerintah mengubah Pasal 479 menjadi Pasal 477, dengan menambahkan aturan mengenai persetubuhan dengan penyandang disabilitas mental pada ayat (2) huruf d.
Kemudian juga menambahkan ayat (5), yang mengatur setiap orang yang memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengan orang lain.
Selain itu, pada ayat (6) juga menambahkan aturan mengenai perkosaan dalam ikatan perkawinan, penuntutan dapat dilakukan atas pengaduan korban.
Selanjutnya ditambahkan juga ayat (8), jika korban perkosaan meniggal dunia, pidana tambahan 1/3 masa hukuman dari ancaman pidana maksimal 15 tahun, sebagaimana diatur jika korban perkosaan mengalami luka berat.