Dari Sri Lanka Hingga Ghana: Harga BBM Bikin Resah
Harga minyak dunia baru saja turun sekitar 2% ke level terendah dalam 12 pekan terakhir perdagangan. Harga minyak Brent berjangka untuk pengiriman September turun $2,08, menjadi $100,69 per barel. Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun 97 sen, atau 1,0%, menjadidi $98,53.
Harga minyak anjlok karena adanya kekhawatiran investor bahwa permintaan energi akan terpukul imbas dari potensi resesi ekonomi global.
Meski turun, harga minyak dunia masih jauh di atas harga asumsi yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 sebesar US$ 63 per barel.
Faktor utama yang membuat harga minyak melambung adalah perang Rusia dan Ukraina, yang menyebabkan pasokan ke pasar berkurang. Sebagai produsen minyak nomor tiga terbesar di dunia, Rusia memasok sekitar 11% dari kebutuhan minyak global.
Tingginya harga minyak membuat harga keekonomian bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia memiliki jarak yang cukup signifikan dengan harga di pasar.
Berdasarkan formulasi perhitungan Pertamina pada Juli 2022, harga keekonomian Solar adalah Rp 18.150 per liter, sedangkan harga jual masih Rp 5.150 per liter. Artinya, pemerintah harus membayar subsidi Solar Rp 13.000 per liter.
Begitu juga untuk harga Pertalite yang mencapai Rp 18.150 per liter. Pertamina menjual Pertalite Rp 7.650 per liter, sehingga untuk setiap liter yang dibeli masyarakat, pemerintah mengeluarkan Rp 9.550 dari APBN.
Namun, jika pemerintah ingin menjaga APBN dan memutuskan untuk menaikkan harga BBM subsidi, risikonya terjadi inflasi atau kenaikan harga barang.
DBS Group Research dalam laporannya pada 27 Juni 2022 lalu, memperkirakan inflasi di Indonesia pada akhir tahun dapat menyentuh hingga 5,5%, bila pemerintah menaikkan harga barang bersubsidi seperti BBM hingga listrik.
Harga BBM termahal menurut situs GlobalPetrol.com tercatat di Hong Kong. Untuk BBM dengan Research Octan Number (RON) 95, warga di sana harus membayar USD 3 per liter, atau setara Rp 45 ribu. Sedangkan untuk BBM diesel, dibanderol dengan harga USD 2,8 per liter, atau sekitar Rp 42 ribu.
Apa yang Terjadi Jika Harga BBM Naik?
Menyitir New York Times, kenaikan harga bahan bakar berpotensi mengubah tatanan ekonomi, politik dan kehidupan sosial di seluruh dunia. Biaya energi yang tinggi memiliki efek domino, menciptakan inflasi, dan memaksa bank sentral menaikkan suku bunga. Pada akhirnya, menghambat pertumbuhan ekonomi.
Di Eropa, badan statistik Uni Eropa, Eurostat, pada Jumat (1/7) lalu mengungkap 19 negara zona euro mengalami inflasi rata-rata 8,6% pada Juni. Rekor ini melewati 8,1% yang tercatat pada Mei, dan menjadi level tertinggi sejak pencatatan euro dimulai pada 1997.
Harga energi meroket 41,9%, dan harga makanan, alkohol, dan tembakau naik 8,9%, seperti dikutip Time.com.
Dampak Inflasi di Asia
Selain itu Eropa, salah satu negara dengan tingkat inflasi tinggi adalah Sri Lanka. Inflasi menyentuh rekor tahun ke tahun sebesar 54,6% pada Juni, dan Gubernur bank sentral P. Nandalal Weerasinghe mengatakan inflasi dapat mencapai 70%.
Menyitir Reuters, Sri Lanka sedang berjuang untuk menyediakan bahan pangan, obat-obatan, dan bahan bakar, dengan cadangan devisa pada rekor terendahnya.
Ekonomi mereka berkontraksi 1,6% pada kuartal pertama dan diperkirakan akan menyusut lebih banyak di kuartal kedua.
Bank sentral mengatakan bahwa kemajuan signifikan telah dibuat dalam pembicaraan dengan IMF. "Salah satu rekomendasi dalam program IMF adalah untuk mendukung orang miskin dan rentan karena inflasi yang tinggi akan berdampak paling besar pada mereka," kata Weerasinghe, seperti dikutip Reuters, Rabu (6/7).
Tak hanya di Sri Lanka, Laos juga mengalami kondisi yang mirip. Mengutip laporan Nikkei Asia, harga bensin reguler mereka mencapai USD 1,4 per liter pada 24 Juni lalu, atau sekitar Rp 21 ribu. Harga ini naik lebih dari 40% sejak Rusia menginvasi Ukraina pada akhir Februari.
Kenaikan harga bahan pangan dan kebutuhan sehari-hari pun membuntuti, sehingga membuat perekonomian warganya kian terjepit.
Laos telah memulai pembicaraan dengan Rusia untuk mencoba membeli minyak mereka. Media Laos melaporkan bahwa bensin Rusia 70% lebih murah daripada pasokan internasional karena efek sanksi Barat.
Laos yang semua perbatasan wilayanya berupa daratan, mendapatkan pasokan bahan bakarnya sebagian besar dari Cina, Thailand, Vietnam dan negara-negara tetangga lainnya.
Namun negara ini telah kehilangan daya beli karena lonjakan harga komoditas. Laos tidak dapat mengamankan cukup pasokan bensin sebagaimana mereka antisipasi sebelumnya, sehingga mendorong pencarian sumber minyak yang lebih murah.
Krisis serupa juga menghantui Thailand. Bloomberg mencatat harga kebutuhan pokok naik sekitar 7,66% dari tahun sebelumnya, melonjak dari data bulan lalu yang mencapai 7,1%. Angka ini lebih cepat dari rata-rata kenaikan 7,45% yang diprediksi para ekonom dalam survei Bloomberg, dan tertinggi sejak Juli 2008.
Sementara Perusahaan Pialang Global Nomura Holdings memperkirakan negara maju di Asia seperti Jepang dan Korea Selatan, akan masuk ke jurang resesi dalam 12 bulan ke depan.
Protes di Ekuador dan Ghana
Di Ekuador, The Confederation of Indigenous Nationalities atau Konfederasi Kebangsaan Adat telah memimpin pemogokan massal secara nasional sejak 13 Juni. Tuntutan utama mereka adalah menurunkan harga BBM dan peningkatan anggaran kesehatan serta pendidikan.
Protes ini diwarnai beragam blokade jalan untuk mencegah transportasi makanan, bahan bakar, bahkan ambulans. Akibatnya, terjadi kenaikan harga pangan terutama di kawasan Andes utara, yang merupakan salah satu daerah yang paling terkena dampak pemogokan.
Pemerintah Ekuador dan kelompok Pribumi telah mencapai kesepakatan untuk mengakhiri 18 hari pemogokan pada Kamis (30/6) lalu, seperti dikutip the Guardian.
Kesepakatan tersebut menetapkan bahwa harga bensin akan turun 15 sen menjadi USD 2,40 per galon dan harga solar juga akan turun dalam jumlah yang sama, dari USD 1,90 per galon menjadi USD 1,75.
Kesepakatan itu juga membatasi perluasan wilayah eksplorasi minyak dan melarang aktivitas pertambangan di kawasan lindung, taman nasional, dan sumber air.
Menyitir New York Times, sebelumnya pemerintah Ekuador telah menghabiskan sekitar USD 3 miliar atau setara RP 45 triliun per tahun, untuk menjaga harga bensin USD 2,55 atau Rp 38 ribu per galon. Sedangkan harga solar pada USD 1,90 atau Rp 28,5 ribu per galon. Artinya, satu liter bensin sekitar Rp 8 ribu, dan solar mencapai Rp 6 ribu.
Beralih ke benua Afrika, setelah pekan lalu ratusan warga turun ke jalan di ibu kota Ghana, Accra, untuk memprotes kondisi ekonomi yang memburuk.
Menyitir Reuters, inflasi mencapai level tertinggi dalam 18 tahun di 27,6% pada Mei. Pertumbuhan melambat menjadi 3,3% pada kuartal pertama, dan nilai mata uang cedi menurun 23,5% terhadap dolar AS sejak awal tahun.
Pemerintah salah satu negara termakmur di kawasan Afrika ini akhirnya memilih mendekati Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mencari bantuan dan solusi perbaikan ekonomi.
Pemerintah Ghana menyalahkan kombinasi kekuatan eksternal yang terjadi belakangan telah membawa perekonomian mereka terpuruk, termasuk pandemi COVID-19, krisis Ukraina, dan kemerosotan ekonomi Amerika dan China.
Menteri Keuangan Ken Ofori-Atta mengatakan kepada anggota parlemen bulan lalu bahwa pengeluaran terkait pandemi mencapai 18,19 miliar cedi (USD 2,26 miliar/Rp 33,9 triliun) pada Mei 2022. Negara tersebut menerima USD 1,23 miliar atau sekitar Rp 18,47 triliun dalam pendanaan bantuan COVID-19 dari IMF dan Bank Dunia selama periode itu.