Tantangan Besar Ekonomi Indonesia pada Semester II di Mata INDEF

Aryo Widhy Wicaksono
7 Agustus 2022, 21:56
Ilustrasi. Suasana deretan gedung bertingkat di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (10/9/2019).
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Ilustrasi. Suasana deretan gedung bertingkat di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (10/9/2019).

Ekonomi Indonesia pada kuartal kedua tahun ini berhasil tumbuh 5,44 % secara tahunan atau year on year (yoy). Capaian ini lebih tinggi dari target pertumbuhan ekonomi 2022 sebesar 5,2%. Akan tetapi, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengingatkan pemerintah agar tidak euforia.

Menurut Indef, tidak ada alasan untuk merayakan capaian kinerja semester pertama 2022, karena dua triwulan berikutnya tahun ini perekonomian Indonesia dihadapkan pada situasi ketidakpastian global yang semakin nyata.

"Indef memproyeksi pertumbuhan ekonomi pada triwulan III 2022 akan mengalami penurunan, yaitu sebesar 5 persen yoy," kata Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto dalam keterangan resmi, Minggu (7/8).

Menurutnya, capaian kinerja triwulan kedua tidak lepas dari adanya dorongan aktivitas ekonomi berupa momentum lebaran, setelah dua kali hari raya sebelumnya terdapat larangan mudik untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Selain itu, windfall surplus dagang dari lonjakan harga komoditas di pasar global pun ke depan akan kian menipis seiring perkembangan ekonomi negara-negara mitra dagang yang cenderung pesimis.

Hal ini disebabkan pada dua triwulan berturut-turut, kinerja pengeluaran konsumsi selalu tumbuh negatif. Pada triwulan II 2022 pengeluaran konsumsi pemerintah tumbuh -5,24 persen yoy, melanjutkan raport merahnya di triwulan I 2022 yang juga tumbuh negatif sebesar -7,59 persen yoy.

Persoalan lainnya, empat sektor ekonomi yang memiliki kontribusi double digit bagi pertumbuhan ekonomi, yaitu sektor industri, pertambangan, pertanian, dan perdagangan, tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi triwulan II 2022.

Padahal secara distribusi pertumbuhan keempat sektor tersebut mendominasi Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 56,59 persen.

"Dengan masih lambannya pertumbuhan sektor-sektor yang mendominasi PDB ini, menggambarkan masih adanya belenggu persoalan yang menjadi batu sandungan bagi pemulihan di masing-masing sektor," jelas Eko.

Indef juga mengingatkan potensi penurunan ekspor akibat inflasi di sejumlah negara mitra dagang Indonesia. Tekanan inflasi yang meningkat di negara-negara mitra dagang utama Indonesia bisa berisiko menggerus surplus di semester mendatang.

"Ketika daya beli negara mitra dagang utama tertekan, maka konsekuensinya permintaan barang dan jasa bisa saja berkurang," ungkap Eko.

Menurut Eko, salah satunya tantangan Indonesia ke depan adalah persoalan ketidakpastian global, yang menggelayuti perekonomian dunia.

Dari sisi geopolitik, proses perang Rusia-Ukraina membuat gejolak ekonomi belum mereda. Situasi menjadi lebih rumit ketika tensi geopolitik antara Taiwan dan Cina juga meningkat.

Sementara dari sisi keuangan, agresivitas kenaikan suku bunga acuan The Fed masih akan terus berlangsung hingga tekanan inflasi di Amerika Serikat mereda.

"Ini mengindikasikan akan adanya peningkatan volatilitas keuangan di semester II 200 dan bahkan di tahun depan," ujar Eko.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...