Kemenkeu Nilai Industri Tekstil Masih Kuat, Tak Tambah Bansos PHK
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan belum ada rencana untuk menambah pemberian bantuan sosial, untuk merespons ramainya isu pemutusan hubungan kerja (PHK), khususnya di industri tekstil. Sebab asesmen Kemenkeu menunjukkan kinerja perusahaan-perusahaan produsen tekstil masih positif.
"Sampai sekarang belum ada arahan, termasuk diskusi, mengenai apakah gejala PHK massal yang sekarang muncul terutama yang katanya di Jawa Barat itu akan direspons dengan kebijakan bantuan sosial, ini sampai sekarang belum ada," kata Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Made Arya Wijaya dalam media briefing di Bogor, Jumat (4/11).
Menurut Made, dari hasil pemantauan Kemenkeu di daerah belum ada laporan terdapat pemutusan kerja secara besar-besaran. Meski demikian, ia tidak menampik adanya risiko perusahaan melakukan tindakan tersebut, seiring munculnya isu PHK massal perusahaan tekstil di Jawa Barat.
"Walaupun kebijakan pemberian tambahan bansos itu tidak salah, tapi kelihatannya dengan sisa waktu yang ada dan juga alokasi yang sudah ada, mestinya tidak harus memicu adanya pergeseran-pergeseran atau relokasi belanja negara yang lain," kata Made.
Beberapa pejabat Kemenkeu lainnya juga mengungkapkan hal serupa terkait PHK di industri tekstil. Asesmen terkini bahkan menunjukkan kinerja sektor yang masih positif.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan, secara agregat, kinerja industri tekstil masih baik. Meski demikian ia mengakui perlu ada pemantauan lebih dalam, serta menelusuri negara-negara tujuan ekspor mana saja yang mengalami penurunan permintaan.
Senada dengan itu, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro BKF Kemenkeu, Abdurohman, menyebut pemantauan Kemenkeu menunjukan bisnis perdagangan pakaian hingga alas kaki masih menjanjikan. Hal ini tercermin dari kinerja ekspor produk tersebut, seperti sepatu, yang masih tumbuh tinggi sampai September lalu.
Berdasarkan data BPS, ekspor untuk pakaian dan aksesori rajut, pakaian dan aksesoris bukan rajutan serta alas kaki mencatat nilai ekspor US$ 13,38 miliar sepanjang Januari-September 2022, naik 28,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Selain itu, dari sisi kondisi keuangan perusahaan-perusahaan tekstil juga masih cukup baik. Hal ini tercermin dari pendapatan dari hasil penjualan produk tekstil sepanjang paruh pertama tahun ini yang tumbuh kuat mengekor kinerja positif pertumbuhan ekonomi.
"Pendapatan penjualan industri tekstil tumbuh dua digit di atas 10% sementara total industri manufaktur secara keseluruhan hanya sekitar 5%, jadi agak membingungkan kalau terjadi PHK," kata Plt. Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan saat ditemui di Bogor.
Isu PHK massal muncul ke permukaan setelah asosiasi pengusaha mengaku industri tekstil tengah tidak baik-baik saja. Pabrik-pabrik pembuat baju hingga sepatu itu disebut mulai melakukan PHK sejak September 2022. Kinerja industri anjlok akibat permintaan global yang menurun signifikan.
Khusus di Jawa Barat, belasan pabrik di mengalami krisis sehingga mengurangi operasi sebagian unitnya. Hal ini berdampak menyebabkan 45.000 karyawan dirumahkan.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia atau API Jemmy Kartiwa Sastraatmadja mengatakan sejumlah karyawan industri TPT kini telah dirumahkan. Ia bahkan menyebut, sudah ada perusahaan di Jawa Barat yang melakukan PHK.
"Sekarang sudah di tahap tidak aman, karena sudah ada pengurangan pegawai. Sinyal buruknya sudah ada. Sudah berlangsung pengurangannya, tanda-tandanya dari bulan September merambatnya," ujarnya kepada Katadata.co.id, pada Rabu (26/10).
Jemmy melihat kinerja industri tekstil bahkan sudah anjlok 30% sejak September Lalu. Ada bergama faktor, salah satunya efek pelemahan ekonomi di banyak negara sehingga permintaan ekspor juga lesu. Ekspor juga terpukul oleh depresiasi nilai tukar. Permintaan dari domestik juga tertekan daya beli yang melemah.