Dua Pemicu Anjloknya Rupiah, BI Kritik Para Analis

Desy Setyowati
12 November 2016, 11:00
Deputi BI
Arief Kamaludin|KATADATA

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menilai, anjloknya mata uang rupiah hingga sempat menembus level 13.800 per dolar Amerika Serikat (AS) sangat tidak mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia. Sebab, saat ini, fundamental ekonomi di dalam negeri dinilai cukup baik.

Hal itu terlihat dari pertumbuhan ekonomi kuartal III lalu sebesar 5,04 persen sejak awal tahun (year to date/ytd). Selain itu, inflasi di kisaran tiga persen, dan desifit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) yang turun menjadi 1,8 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Menurut Mirza, ada dua hal yang menyebabkan rupiah melemah tajam saat ini. Pertama, kajian dari analis yang negatif, meskipun tidak mencerminkan fundamental Indonesia. (Baca: Setelah Trump Menang, Pasar Bisa Bergejolak Hingga 2017)

Berdasarkan pengalamannya di pasar, ia berpandangan hal ini ulah analis yang melaporkan bahwa kebijakan Presiden AS terpilih Donald Trump bakal berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Padahal, menurut Mirza, fundamental Indonesia masih baik.

Lagipula, posisi Indonesia berbeda dengan Meksiko, Brazil, atau Afrika Selatan yang hubungan dagangnya dengan AS cukup besar. Karena itu, tak heran jika mata uang dari ketiga negara tersebut terdepresiasi masing-masing sebesar 3,5 persen, 4,9 persen, dan 4,8 persen dalam sehari.

Sedangkan porsi dagang Indonesia ke AS yang hanya 12,5 persen, menurut dia, tidak akan terlalu signifikan terkena imbas kebijakan proteksi yang akan diterapkan Trump. “Saya kan bekas orang pasar, saya tahu analis begitu. Kalau sudah mahal, analisis dibuat negatif supaya punya alasan untuk jual. Kalau harga turun, dibuat bagus sekali, pasar begitu,” ujar Mirza di Jakarta, Jumat (11/11).

Grafik: Pergerakan Rupiah Terhadap Dolar AS 11 November 2016

Faktor kedua, Mirza mengamati pelemahan ini karena ada kekhawatiran pasar kalau Indonesia akan mengambil kebijakan serupa dengan Bank Negara Malaysia (BNM). Bank sentral Malaysia tersebut membatasi perdagangan valas, setelah ringgit melemah hampir lima persen terhadap dolar AS, Kamis (10/11) lalu.

(Baca: BI Borong Surat Utang, Kejatuhan Rupiah Tertahan di Level 13.300)

Padahal, BI tidak akan melakukan hal serupa dan membiarkan pasar berjalan seperti biasanya. Menurut Mirza, Indonesia tidak akan membatasi valas di pasar uang dan pasar antarbank karena yang paling terbaik adalah membiarkan pasar berjalan dengan baik, dari sisi pasokan maupun kebutuhan. “Juga akan ada balance dan para eksportir juga sudah mulai masuk, itu yg membuat kurs kembali stabil.”

Halaman:
Editor: Yura Syahrul
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...