Ekonomi Kreatif Hadapi Masalah Produksi hingga Ekspor Tak Merata
Kontribusi ekonomi kreatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) ditargetkan mencapai Rp 1.000 triliun tahun ini. Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ada 4 hal yang masih harus dibenahi untuk meningkatkan potensi ekonomi kreatif.
"Kami harus eksplorasi berbagai permasalahan dan cari solusi supaya pelaku ekonomi kreatif bisa berkembang," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto saat peluncuran data ekonomi kreatif 2010-2016 di Djakarta Theater, Jakarta, Selasa (27/2).
Yang pertama, pertumbuhan ekonomi kreatif di Indonesia belum merata. Data BPS mencatat, 65,4% dari 8,2 juta usaha ekonomi kreatif pada 2016 masih terpusat di Jawa. Sementara, “Hampir setiap kabupaten (di Indonesia) punya kuliner khas, tinggal kemasannya saja (diperbaiki). Kriya (kerajinan tangan) juga enggak ada habisnya . Ini perlu dipacu pemasarannya,” tutur Pria yang akrab disapa Kecuk ini.
Selain itu, dari 8,2 juta unit usaha yang ada, ekonomi kreatif hanya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 16,91 juta sepanjang 2016. Artinya, setiap Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di sektor ini hanya mempekerjakan 1-2 orang.
(Baca juga: Bekraf Berangkatkan 6 Start-Up ke Festival Teknologi di AS)
Catatan BPS, sebanyak 92,56% usaha kreatif, pendapatan rata-ratanya di bawah Rp 300 juta per tahun. Bahkan, kurang dari 1% unit usaha kreatif yang berbentuk perseroan terbatas (PT), sisanya merupakan usaha informal. "Kalau ini bersifat informal, maka tidak ada kepastian hukum bagi pekerjanya," kata Kecuk.
Ia juga menyarankan agar Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mendorong pertumbuhan sektor usaha selain kuliner, fesyen, dan kerajinan tangan. Sejauh ini, ketiga bidang itu memang mendominasi.
Kuliner, misalnya, menyumbang 41,4% terhadap PDB di ekonomi kreatif pada 2016. Kemudian fesyen dan kriya, masing-masing menyumbang 18% dan 15,4%. “Ke depan, pertumbuhan yang menjanjikan itu animasi dan video, aplikasi dan game developer,” kata Kecuk.
(Baca juga: Tujuh Bidang Pekerjaan Akan Tetap Eksis di Era Digital)
Adapun kontribusi dari aplikasi dan game developer hanya 1,9% pada 2016. Sedangkan, film, animasi dan video mencatatkan kontribusi sebesar 0,2%. Yang lainnya, seperti televisi dan radio 8,3%; penerbitan 6,32%; aristektur 2,3%; periklanan 0,81%; musik 0,5%; fotografi 0,5%; seni pertunjukan 0,3%; desain produk 0,3%; seni rupa 0,2%; desain interior 0,2%; serta, desain komunikasi visual 0,1%.
Terakhir, 55% ekspor produk ekonomi kreatif masih terpaku ke lima negara yakni Amerika Serikat (AS), Swiss, Jepang, Singapura, dan Jerman. Ekspor produk ekonomi kreatif ke lima negara tersebut, nilainya masing-masing mencapai US$ 6,04 miliar, US$ 2,09 miliar, US$ 1,36 miliar, US$ 1,23 miliar, dan US$ 886,1 juta.
Menurut Kecuk, pemerintah harus memperluas pasar ekspor produk kreatif. “Kalau bicara pariwisata halal, fesyen yang potensial itu ke timur tengah. Tinggal bagaimana memahami potensi ekonomi kreatif di masing-masing negara,” tuturnya.
(Baca juga: Nasabah Kaya Perlu Jadi Pemodal Start-up)
Kepala Bekraf Triawan Munaf pun mengakui adanya keempat persoalan tersebut. Ia pun menyiapkan Bekraf Festival yang menyajikan 39 program unggulan dari 16 subsektor ekonomi kreatif. “Film kontribusinya kecil, tapi kenaikannya luar biasa, games juga. Setelah Bekraf intervensi, pembuat games jadi bisa memasarkan produknya,” ujar Triawan.