Kredit Seret Tinggi, Perbankan Berpotensi Borong Obligasi Korporasi

Rizky Alika
Oleh Rizky Alika - Martha Ruth Thertina
9 April 2018, 20:39
Bank
Agung Samosir | Katadata

Bank Indonesia (BI) baru saja menerbitkan beberapa ketentuan baru mengenai pengelolaan likuiditas bank, salah satunya ketentuan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM). Ketentuan baru ini membuat bank bisa leluasa untuk memilih menyalurkan dananya lewat kredit atau pembelian obligasi korporasi nonbank.

Dalam paparannya, BI menjelaskan RIM bertujuan untuk mendukung bank menyalurkan dana ke sektor riil sesuai dengan kapasitas dan target pertumbuhan ekonomi, dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian. Adapun sejak 2012, pertumbuhan kredit bank tercatat melambat. Bahkan, mulai 2016, pertumbuhan tahunannya di bawah 10%.

Dalam berbagai kesempatan, BI menyebut dua faktor yang menyebabkan lemahnya pertumbuhan kredit. Pertama, sikap perbankan yang lebih selektif menyalurkan kredit di tengah tingginya rasio kredit seret. Rasionya sempat lama bertengger di kisaran 3% sebelum turun menjadi 2,59% pada Desember 2017. Namun, rasionya kembali merangkak naik menjadi 2,88% per Februari 2018.

Faktor kedua, permintaan kredit yang masih rendah dari korporasi. Jika melihat kondisi itu, ketentuan RIM memang bisa dipandang sebagai solusi bagi perbankan dalam mengatasi gangguan penyaluran dana.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual pun menyambut positif ketentuan tersebut. Dampak ketentuan itu, permintaan obligasi dari perbankan bakal membesar. Alhasil, pendanaan korporasi lewat pasar modal berpotensi semakin berkembang. “Harapannya begitu,” kata David kepada Katadata.co.id pekan lalu.

(Baca juga: Fitch: Pasar Obligasi Indonesia Sudah Ketat karena Investor Terbatas)

Adapun korporasi terpantau semakin gencar menerbitkan obligasi untuk mencari pendanaan selain dari kredit bank. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sepanjang 2017 lalu, total penerbitan obligasi mencapai Rp 150,2 triliun, naik 25,5% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 111,9 triliun. Sedangkan obligasi syariah (Sukuk) mencapai Rp 6,5 triliun atau naik 50% dari tahun sebelumnya 4,32 triliun.

Meski begitu, David menilai, ketentuan baru BI tersebut tidak akan serta merta membuat bank jadi malas menyalurkan kredit. “Bank lebih suka sebenarnya menyalurkan kredit dibanding obligasi, (karena) obligasi ini kan tidak ada klausul kolateral (jaminan) yang jelas, tergantung penerbit obligasi mau mengikat dengan kolateral apa atau tanpa kolateral,” kata dia.

Sementara itu, Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, kebijakan ini mungkin bisa menjadi solusi jangka pendek di tengah perlambatan kondisi ekonomi dan meningkatnya risiko kredit seret. “Barangkali bagi bank lebih aman menempatkan di obligasi korporasi, sudah di-rating Pefindo, risiko sudah diukur. Kalau bank keluarkan kredit, harus analisa dulu,” ucapnya.

Namun, ia memberikan beberapa catatan. Pertama, ketentuan tersebut bisa menjadi disinsentif untuk penyaluran kredit. Dalam arti, bank lebih fokus membeli obligasi daripada menyalurkan kredit. Ia memahami, seiring meningkatnya permintaan obligasi, imbal hasil-nya (yield) semakin murah sehingga kurang menguntungkan bagi perbankan. “Pasti ada masa kejenuhan,” kata dia.

(Baca juga: Tren Imbal Hasil Turun, Empat Bank BUMN Berlomba Jual Obligasi)

Namun, menurut dia, dalam kondisi perlambatan ekonomi, selama imbal hasil obligasi masih di atas biaya dana (cost of fund) perbankan, maka bagi bank tidak masalah. Maka itu, dampak negatif berupa disinsentif terhadap penyaluran kredit tetap perlu jadi perhatian.

Atas dasar itu, ia pun menilai perlu ada pengaturan lebih lanjut dari BI, misalnya terkait rating obligasi yang bisa dibeli dan batasan maksimal penyaluran dana bank melalui pembelian obligasi. Selain itu, perlu diperjelas juga soal batas maksimal penyaluran kredit (BMPK) ke debitur seiring ketentuan RIM tersebut.

“Misalnya, BUMN mengeluarkan obligasi, dibeli bank. BUMN yang sama punya utang (kredit ke bank) apakah itu termasuk (dalam perhitungan BMPK)?” kata dia.

Lebih jauh, ia pun menilai ketentuan RIM tersebut tidak diperlukan dalam kondisi normal alias tidak ada perlambatan ekonomi. “Kalau dalam kondisi ekonomi melambat bisa solusi jangka pendek, dalam kondisi normal semestinya enggak perlu,” ucapnya.

Di sisi lain, Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Filianingsih Hendarta meyakini bank tidak akan mengesampingkan penyaluran kredit. “Bank enggak bakalan duduk-duduk terus (membeli) surat-surat berharga saja. Semua orang akan cari which one is higher?” kata dia.

Meski begitu, pihaknya tidak menutup kemungkinan bakal mengatur batas penyaluran dana bank melalui pembelian obligasi, bila porsinya semakin besar. “Sekarang kami belum membatasi berapa boleh membeli (karena) kami belum melihat percentage yang besar,” ucapnya. Perkiraan dia, saat ini, total obligasi yang dipegang bank dan masuk perhitungan RIM hanya 1% dari total kredit.

Ketentuan RIM

Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) merupakan pengganti rasio kredit/pembiayaan terhadap pendanaan yang dikenal dengan sebutan Loan to Funding Ratio (LFR) di bank konvensional atau Financing to Deposit Ratio (FDR) di bank syariah. Dengan ketentuan baru tersebut, bank jadi memiliki keleluasaan untuk menyalurkan dananya lewat kredit atau pembelian obligasi.

Dalam rasio baru yang berlaku mulai 12 April tersebut, komponen pembiayaan diperluas, dari sebelumnya hanya penyaluran kredit, kemudian ditambah dengan investasi bank pada surat berharga korporasi nonbank. Sementara itu, yang masuk komponen pendanaan yaitu dana pihak ketiga (DPK) alias simpanan nasabah dan hasil penerbitan surat berharga oleh bank.

BI menetapkan RIM sebesar 80-92%, sama seperti ketentuan LFR/FDR yang terakhir berlaku. Bank akan dikenakan disinsentif berupa setoran giro bila memiliki RIM lebih rendah dari batas bawah yaitu 80% atau melebihi batas atas yaitu 92%. Adapun bank hanya bisa melewati batas atas RIM tanpa terkena disinsentif giro jika rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) di atas 14%.

Secara rinci, ada beberapa kriteria agar investasi bank di surat berharga bisa masuk dalam komponen penyaluran dana dalam perhitungan Rasio Intermediasi Makroprudensial. Pertama, surat berharga harus berbentuk obligasi korporasi atau sukuk korporasi dan diterbitkan oleh korporasi bukan bank dan oleh penduduk. Kedua, surat berharga ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum.

Ketiga, surat berharga memiliki peringkat dari lembaga pemeringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi. Terakhir, surat berharga ditatausahakan di lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek.

Di sisi lain, surat berharga yaang diterbitkan bank bisa masuk dalam komponen pendanaan dalam perhitungan RIM dengan kriteria yaitu, berbentuk MTN, FRN atau FRN syariah dan obligasi atau sukuk selain subordinasi; dimiliki bukan bank baik penduduk dan bukan penduduk; ditawarkan kepada publik melalui peawaran umum; memiliki peringkat dari lembaga pemeringkat paling rendah setara dengan peringkat investasi; dan ditatausahakan di lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...