Perang Dagang Diprediksi Bisa Berdampak dalam Jangka Menengah
Sejumlah kalangan menyebut dampak perang dagangan Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok bisa mempengaruhi Indonesia dalam jangka menengah dan panjang. Upaya antisipatif pun mesti dilakukan guna meninimalisir dampak ketidakpastian global.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan perang dagang yang dilakukan Amerika Serikat dan Tiongkok bisa merugikan Indonesia dalam jangka menengah. Menurut Airlangga, Tiongkok bakal kehilangan pasar AS jika perang dagang terjadi.
Hal tersebut akan membuat Tiongkok mengalihkan pasarnya ke negara lain, termasuk Indonesia. Dengan demikian, produk Tiongkok bisa membanjiri Indonesia.
"Perang dagang itu akan berpengaruh dalam jangka menengah," kata Airlangga di kantornya, Jakarta, Jumat (28/6).
(Baca : Pemerintah Hati-hati Sikapi Perang Dagang AS-Tiongkok)
Karenanya, Airlangga menilai pemerintah akan terus memantau situasi perang dagang yang terjadi antara kedua negara tersebut. Hal ini dilakukan sebagai langkah antisipasi atas dampak merugikan yang mungkin timbul.
"Jangka menengah kami harus jaga. Pemerintah akan terus pantau," kata Airlangga.
Meski demikian, Airlangga menilai dalam jangka pendek Indonesia bisa mendongkrak ekspor dari adanya perang dagang AS-Tiongkok. Untuk itu dia menilai peluang ini perlu segera dimanfaatkan.
"Jangka pendeknya Indonesia mendapat gain," kata dia.
Sementara itu, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual juga mengatakan, perang dagang AS-Tiongkok belum berimbas terhadap neraca perdagangan dalam negeri untuk jangka pendek.
Menurutnya, defisit neraca dagang Mei lalu yang tercatat sebesar US$ 1,52 miliar lebih diakibatkan oleh lonjakan impor migas dan non migas karena ada peningkatan kebutuhan dalam negeri, khususnya bahan bakar dan pangan selama Ramadan dan Lebaran.
(Baca : Pengusaha Minta Pemerintah Waspadai Ketidakpastian Global)
Namun dia menyebut ada kekhawatiran perang dagang bisa mempengaruhi neraca dagang untuk jangka panjang. "Jangka panjang efeknya mungkin bisa negatif. Volume perdagangan nantinya menurun, demikian pula dengan ekspor kita sementara impor bisa naik," katanya kepada Katadata.
Karenanya, perlu kebijakan struktural untuk meminimalisir dampak perang dagang, meskipun untuk melakukannya memerlukan waktu. Sedangkan untuk jangka pendek, kebijakan menaikan suku bunga Bank Indonesia, diharapkan dapat menjaga devisa dan aliran dana keluar (outflows) serta menahan inflasi.
Adapun di sisi perdagangan, pemerintah dinilai perlu segera mengintensifkan perjanjian dagang, seperti yang lebih dulu dilakukan Vietnam hingga akhirnya negara tersebut bisa memanfaatkan global value chain di Asia Tenggara untuk meningkatkan perannya di perdagangan internasional.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menuturkan hal senada. Meskipun tengah memanas, tapi dia belum melihat dampaknya dari sisi neraca dagang. "Jangka pendek belum berdampak. Selama masih ada proses negosiasi AS-Tiongkok, maka perang dagang masih bisa jadi wacana," ujarnya kepada Katadata.
Dia pun melihat trend ekspor Indonesia masih lebih rendah, meskipun harga komoditas relatif naik. Karenanya, untuk mengantisipasi dampak perang dagang ke depan, Indonesia harus mulai bisa nmeningkatkan komoditas ekspor bernilai tambah, bukan sekedar ekspor barang mentah.
Di samping itu, percepatan perjanjian dagang dan upaya mencari negara tujuan ekspor baru juga bisa menjadi cara pemerintah untuk meningkatkan kinerja ekspor. "Dengan penerimaan ekspor yang meningkat, cadangan devisa pun naik maka diharapkan rupiah akan stabil," ungkapnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Mei defisit US$ 1,52 miliar atau sekitar Rp 21,4 triliun, dipicu oleh defisit sektor migas US$1,24 miliar dan nonmigas US$0,28 miliar. Secara kumulatif, defisit neraca perdagangan pada Januari – Mei 2018 mencapai US$ 2,8 miliar. Padahal periode sama tahun lalu, neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 5,9 miliar.
Indonesia juga mencatat defisit neraca perdagangan dengan Tiongkok menjadi US$ 8,1 miliar sepanjang Januari-Mei 2018. Defisit itu membengkak dibanding periode sama tahun lalu, yang sebesar US$ 5,87 miliar. Selain itu, defisit neraca perdagangan antara Indonesia dengan Thailand pun naik dari US$ 1,6 miliar menjadi US$ 2,1 miliar.
(Baca juga : Uni Eropa Balas Serangan Tarif Impor Produk AS)
Sementara dengan Amerika Serikat (AS), neraca perdagangan Indonesia masih surplus sebesar US$ 3,6 miliar. Namun surplus itu menurun dibanding tahun lalu yang senilai US$ 4 miliar. Kemudian surplus neraca dagang dengan India juga menurun dari US$ 4,3 miliar menjadi US$ 3,3 miliar.
Perjanjian Dagang
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengaku akan berhati-hati dalam menyikapi situasi perang dagang yang tengah dilakukan Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok dan sejumlah negara yang kian memanas
"Kami ikuti terus prosesnya karena kebijakan itu bisa berubah setiap saat," kata Enggar di kantornya, Jakarta, Jumat (22/6).
Kendati demikian, Enggar mengatakan Indonesia tak akan diam menyikapi perang dagang AS dengan sejumlah negara. Menurutnya, Indonesia bakal melihat masalah ini sebagai peluang agar dapat menghasilkan pengalihan perdagangan (trade diversion).
Dengan begitu diharapkan bisa meningkatkan ekspor Indonesia dengan sejumlah komoditas potensial Indonesia serta menggencarkan kerja sama dagang.
"Kalau toh terjadi pengenaan bea masuk yang tinggi antara kedua negara, maka kami akan mencoba masuk," kata Enggar.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan menargetkan bisa merampungkan sedikitnya 13 perundingan perjanjian dagang untuk mengejar target pertumbuhan ekspor sebesar 11% tahun ini.
Dengan adanya perjanjian dagang dengan pasar potensial, Indonesia diharapkan dapat mengejar persaingan dengan negara-negara kompetitor komoditas seperti Malaysia dan Vietnam.
Enggar menyebutkan perundingan dagang yang bakal segera diselesaikan adalah dengan Australia, European Free Trade Association (EFTA), Iran, Uni Eropa, dan Regional Comprehensive Economics Partnership (RCEP). Sementara, perjanjian dagang yang diusulkan untuk difinalisasi adalah dengan Turki, Peru, Nigeria, Mozambique, Kenya, Morocco, Afrika Selatan, Sri Lanka, Bangladesh, dan Eurasia.
Keuntungan perjanjian dagang, menurit Enggar adalah meningkatkan daya saing dengan pembebasan bea masuk untuk komoditas yang disepakati. Selain memperluas akses pasar, pemerintah akan meningkatkan pemasaran komoditas unggulan dengan misi dagang. Rencananya, selain minyak kelapa sawit, komoditas seperti produk otomotif, alas kaki, tekstil, dan furnitur akan terus dipromosikan ke negara lain.