Kontraktor Migas Siap Jual Minyak ke Pertamina Sesuai Harga Pasar
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) minyak dan gas bumi (migas) meminta PT Pertamina dapat membeli minyak jatah kontraktor sesuai harga pasar. Hal ini menanggapi instruksi Presiden Joko Widodo agar perusahaan migas negara itu membeli bagian minyak kontraktor untuk menekan berkurangnya devisa dibandingkan jika harus impor.
Joint Venture and PGPA Manager Ephindo Energy Private Ltd Moshe Rizal Husin mengatakan, dengan Pertamina membeli sesuai harga pasar, kontraktor tidak rugi. Dibandingkan kontrak internasional,” kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (16/8).
Bila kebijakan tersebut diterapkan, Pertamina akan membeli berdasarkan harga minyak Indonesia Crude Oil (ICP). Harga minyak acuan Indonesia pada Agustus 2018 ini sebesar US$ 70,68 per barel. (Baca: Diperintah Jokowi, Pertamina Siap Beli Seluruh Minyak Kontraktor Migas)
Namun demikian, Moshe menilai harga ICP masih rendah dibandingkan jenis Brent, bahkan minyak jenis WTI. Untuk itu, dia meminta perhitungan harga jual minyak oleh Pertamina bisa kompetitif sehingga tidak merugikan kontraktor. Selain itu, kontraktor yang telah memiliki perjanjian ekspor dengan pembeli luar negeri harus dihormati hingga kontrak berakhir.
Sementara itu, Vice President Public & Government Affairs ExxonMobil Indonesia Erwin Maryoto mengatakan pihaknya tidak masalah menjual minyak bagian perusahannya untuk Pertamina. Berdasarkan kontrak PSC, kontraktor memang memiliki kebebasan untuk menjual bagiannya kepada pihak manapun baik dalam maupun luar negeri.
“Kami siap untuk berbisnis dengan siapa saja termasuk dengan Pertamina sesuai mekanisme pasar,” kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (16/8). (Baca juga: Pemerintah Amendemen Kontrak Demi Kewajiban Jual Minyak ke Pertamina).
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong mengatakan pihaknya masih mendiskusikan dengan pemerintah terkait kebijakan tersebut. Ia berharap kebijakan pembelian minyak jatah KKKS oleh Pertamina tidak merugikan kedua belah pihak. Karena itu perlu mekanisme bisnis yang jelas dan baik.
Adapun Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan kebijakan pembelian minyak KKKS oleh Pertamina memiliki sisi positif dan negatif. Positifnya, hal ini menjadi upaya untuk memperbaiki nilai tukar rupiah. Selain itu, akan mengurangi devisa impor migas, ujungnya dapat memperbaiki harga BBM di dalam negeri.
Sementara dampak negatifnya seperti bisa berpotensi menjadi disinsentif bagi iklim investasi migas nasional. Sebab, kontraktor tidak bisa menjual minyak bagian mereka secara bebas. Namun, disinsentif itu bisa dihindari apabila minyak yang dibeli Pertamina sesuai mekanisme pasar.
Terganjal Pajak
Sementara itu Anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kurtubi mengatakan instruksi presiden tersebut merupakan langkah yang bagus untuk mengurangi impor minyak mentah sehingga mengurangi tekanan kekurangan devisa. Namun, kebijakan ini dapat membuat Pertamina terbebani masalah pajak. Mengacu UU Migas Nomor 22 Tahun 2001, Pertamina harus membayar pajak jika membeli minyak mentah produksi dalam negeri yang merupakan bagian kontraktor.
Hal ini berbeda dengan kondisi saat pemerintah masih menerapkan UU Nomor 8 Tahun 1971, di mana Pertamina otomatis bisa membeli semua minyak mentah produksi dalam negeri yang merupakan bagian dari kontraktor asing. “Saya sudah minta agar UU Migas Nomor 22/2001 dicabut karena merugikan Pertamina,” kata dia.
Namun, menurut Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman, sejak keluanya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pajak Penghasilan, terutama terkait Pasal 22 mengenai pembayaran barang impor, pihaknya sudah tidak lagi dibebankan pajak penghasilan dalam membeli minyak bagian KKKS.
“Dulu ada concern dari KKSS atau trading arm-nya mengenai pengenaan PPh. Namun pengertian kami, dengan terbitnya PMK No.44/PMK.010/2017 sudah dikecualikan,” ujar Arief kepada Katadata.co.id, Kamis (16/8).
Dalam aturan PMK itu, Kementerian Keuangan membebaskan PPh Pasal 22 bagi pembelian minyak atau gas bumi yang berasal dari distributor (trading arms) milik kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama di Indonesia. Hal ini diatur dalam pasal 3 aturan anyar itu. Adapun PPh Pasal 22 ini merupakan pajak yang dikenakan kepada badan usaha yang melakukan kegiatan ekspor, impor dan re-impor.
(Baca: Lima Instruksi Presiden Jokowi untuk Jonan di Sektor Energi).
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memberikan lima instruksi untuk dilaksanakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan di sektor energi dalam rangka meningkatkan devisa dan menjaga rupiah. Salah satunya yaitu lifting minyak KKKS dibeli seluruhya oleh Pertamina. Alasannya, untuk menekan impor sehingga menambah cadangan devisa dan memperkuat rupiah.