Adaro Siap Terapkan Program Biodiesel 20% Bulan Depan
Perusahaan tambang yakni PT Adaro Energy menyatakan siap menggunakan solar dengan campuran 20% bahan bakar nabati (biodiesel) pada operasional perusahaan mulai September 2018. Sesuai amanat pemerintah, semua industri pengguna solar wajib menggunakan biodiesel sebesar 20% tahun ini.
Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018 mewajibkan penggunaan biodiesel untuk sektor Public Service Obligation (PSO) dan non-PSO. Aturan yang diteken pada 15 Agustus 2018 tersebut sekaligus merevisi Perpres Nomor 61 Tahun 2015 tentang penghimpunan dan penggunaan dana perkebunan kelapa sawit.
“Bulan depan kami mulai secara penuh,” kata Presiden Direktur Adaro Garibaldi Thohir di Jakarta, Senin (27/8). (Baca: PLN Butuh 440 Ribu Minyak Nabati untuk Penerapan B20)
Pemerintah telah menyiapkan sanksi bagi badan usaha yang tidak menggunakan campuran 20% Bahan Bakar Nabati (BBN) ke Bahan Bakar Minyak (BBM) atau B20. Sanksi ini akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan sanksi itu dikenakan ke pemasok minyak nabati dan penyalur bahan bakar yang sudah dicampur BBN 20%. Denda itu pun bervariasi, mulai dari membayar sejumlah uang hingga pencabutan izin usaha.
Jadi, perusahaan akan dikenakan sanksi Rp 6.000 per liter. Kemudian diberi peringatan. Jika tiga kali peringatan tetap tidak patuh, akan ada sanksi yang lebih berat. (Baca: Pemerintah Kaji Pelonggaran Mandatori B20 untuk Freeport dan PLN)
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rosan P. Roeslani mengatakan semua industri telah siap menjalankan kebijakan biodiesel 20% (B20). Kebijakan tersebut dilakukan untuk menekan defisit transaksi berjalan. Rosan berharap pelaksanaan regulasi secara penuh dapat menyelamatkan devisa hingga US$ 11 miliar.
Rosan juga berharap langkah penyelamatan defisit lainnya yakni wacana kenaikan Pajak Penghasilan 900 komoditas tidak menyentuh barang-barang yang sifatnya produktif. Pasalnya komoditas jenis ini banyak digunakan sebagai bahan baku industri.
“Jadi harus hati-hati. Kalau sifatnya konsumtif tidak masalah,” kata dia. (Baca: Kendalikan Impor, Pemerintah Kaji Penaikan PPh 900 Barang Konsumsi)
Pemerintah mengemukakan opsi penaikan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 impor atas 900 barang konsumsi dari luar negeri. Hal ini merupakan bagian dari upaya pengendalian defisit neraca perdagangan, serta mengurangi dampak tekanan perdagangan global.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, PPh yang sekarang dikenakan untuk barang konsumsi impor bervariasi di antara 2,5% - 10%. Barang konsumsi yang dapat disubsitusi dengan produk lokal kemungkinan dikenakan tarif pajak lebih tinggi.