Dualisme Data Produksi Beras, Kementan Siap Gunakan Data BPS
Kementerian Pertanian mengapresiasi langkah Badan Pusat Statistik (BPS) yang memperbaharui metodologi Kerangka Sampel Area (KSA) untuk menghitung data produksi beras. Data terbaru itu akan menjadi data tunggal sekaligus acuan dalam penentuan kebijakan tata niaga beras serta pembentuk asumsi anggaran.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro menjelaskan, setelah pembaruan data beras oleh BPS, institusinya nanti hanya berfokus pada penanaman dan proses produksi. "BPS adalah satu-satunya sumber data yang menjadi referensi nasional," kata Syukur di Jakarta, Rabu (24/10).
Namun dia menjelaskan, penghitungan data produksi beras yang dilakukan Kementerian Pertanian sebelumnya juga telah menggunakan metodologi yang ditetapkan BPS. Adapun yang menjadi persoalan, dalam penerapan penghitungan Kementan, pihaknya masih menggunakan cara-cara penghitungan lama, seperti menghitung dengan metodologi baku sample ubinan dengan mengandalkan pengamatan mata.
"Perkembangan teknologi dengan KSA mudah-mudahan (data produksi beras) lebih akurat," ujar Syukur.
(Baca: Data Produksi Beras Tak Akurat Sejak 1997, Jokowi Kini Andalkan BPS)
Mengacu data Kementerian Pertanian, tahun ini produksi gabah diperkirakan mencapai sekitar 80 juta ton atau 46,5 juta ton setara beras dengan estimasi total konsumsi beras dalam negeri sebesar 33,47 juta ton. Atas dasar penghitungan itu, Kementan kemudian memperkirakan ada surplus beras tahun ini sebesar 13,03 juta ton.
Sementara jika mengacu pada data BPS, produksi beras Indonesia hanya surplus sekitar 2,8 juta ton. Sehingga, dengan rentang angka tersebut, Kementerian Pertanian dapat mengantisipasi peningkatan populasi penduduk selama 4 tahun terakhir yang naik 12,8 juta orang.
Perbedaan penghitungan angka produksi itu pula menurutnya tak lantas mengubah postur anggaran Kementerian Pertanian. Hanya saja, asumsi dalam pembentukan anggaran akan disesuaikan dengan mengacu pada data produksi beras BPS.
Syukur juga menambahkan, Kementerian Pertanian ke depan hanya memfokuskan pada metode penanaman baru seperti pada lahan rawa dan lahan kering untuk meningkatkan angka produksi padi.
Menurut perhitungan Kementerian Pertanian, ada potensi 9 juta hektare dari 32 juta hektare total lahan rawa. Sedangkan, potensi lahan kering bisa mencapai 9,4 juta hektare dari ketersediaan 42 juta hektare. "Kita dorong penanaman secara intensif pada kedua raksasa tidur," katanya.
(Baca: Hitungan BPS, Produksi Beras 2018 Lebih Rendah 30% dari Data Kementan)
Sebelumnya, simpang siur data produksi beras telah memicu polemik antar institusi pemerintah. Karenanya, perbaikan serta penyediaan data produksi tunggal menjadi isu krusial yang mesti segera diselesaikan karena bisa berdampak terhadap langkah penentuan kebijakan pemerintah terkait penyediaan pasokan komoditas pangan dalam negeri.
Upaya korektif data produksi padi dan beras oleh BPS menuai apresiasi sejumlah kalangan asosiasi petani dan pelaku usaha sektor perberasan. Sebab, dari penyajian data sebelumnya, mereka umumnya merasa terjadi overestimasi.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyatakan rilis terbaru BPS harus menjadi solusi dari polemik data produksi beras nasional. "Saya harus katakan data milik Kementerian Pertanian overestimasi, seharusnya data tunggal hanya oleh BPS," kata Henry.
Dia berharap data terbaru BPS lebih valid agar segala kebijakan yang diambil pemerintah terkait komoditas pangan tersebut bisa lebih tepat sehingga mampu menyejahterakan rakyat, terutama para petani.
Henry mengapresiasi langkah pemerintah untuk mengoreksi ketidaksesuaian data yang sudah berlangsung sejak 1999. "Ini adalah pekerjaan yang luar biasa dari pemerintahan sekarang," ujarnya.
Setelah koreksi data produksi beras, SPI berharap pemerintah melakukan berbagai konsekuensi seperti koreksi dan penyesuaian anggaran. Alasannya, pemerintah bisa menetapkan pendanaan pertanian dengan model agroekologi.
Berdasarkan pembaruan data BPS menyebutkan bahwa ada penurunan luas baku sawah dari 7,75 juta hektar pada 2013 menjadi 7,1 juta hektar pada 2018. Sementara itu, potensi luas panen tahun 2018 mencapai 10,9 juta hektar dengan produksi 56,54 juta ton gabah kering giling atau setara 32,42 juta ton beras.
(Baca juga: Pelaku Usaha Perberasan Sebut Data Produksi Kementan Overestimasi)
BPS juga menetapkan angka konsumsi sebesar 29,5 juta ton dengan angka konsumsi per kapita 111,58 kilogram dalam setahun. Alhasil, surplus beras Indonesia tahun 2018 hanya mencapai 2,8 juta ton.
Sekretaris Jenderal Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Burhanuddin juga menyebut rilis data BPS mendekati kenyataan di lapangan. Sebab, penggilingan padi dan pengusaha beras bersaing dalam pembelian gabah petani.
Alhasil, harga gabah terus meningkat karena permintaan yang semakin banyak, namun suplainya tak sebanyak klaim. Catatan Perpadi, harga gabah berada di kisaran Rp 4.800 hingga Rp 5.200 per kilogram.
Burhanuddin menekankan persaingan gabah di lapangan akan terus terjadi selama pemerintah tak ikut campur dalam mekanisme pasar. "Kecuali produksi gabah benar surplus sangat banyak, harga akan turun," katanya.
Dia juga mengungkapkan sinyal lain rendahnya produksi adalah banyaknya jumlah penggilingan padi yang harus berhenti beroperasi. Hampir sepertiga penggilingan kecil pun kalah bersaing dari total keseluruhan 182 ribu unit di Indonesia.
Sementara itu, pengamat pangan dan pertanian Khudori mengapresiasi pemerintahan yang legowo dalam rilis data baru. Menurutnya, kesalahan kolektif yang sudah berlangsung sekitar 20 tahun sudah saatnya diakhiri. "Data itu membuat klaim surplus beras dalam jumlah besar tak terbukti dan harus dikoreksi," ujar Khudori.