Hadapi Kerja Sama Dagang RCEP, Pengusaha Minta Regulasi Dipermudah
Sejumlah pelaku industri menyatakan kesiapannya menghadapi rencana kerja sama dagang Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang melibatkan 16 negara. Para pengusaha dalam negeri menyatakan memiliki berbagai strategi untuk mendongkrak ekspor lewat RCEP.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman mengatakan, kesiapan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sudah sangat matang. Rencananya, industri TPT bakal mendorong ekspor produk pakaian yang memiliki nilai tambah dan lapangan kerja lebih besar.
Melalui RCEP, Ade menargetkan ekspor TPT naik menjadi dua kali lipat dalam tiga hingga empat tahun ke depan. Saat ini, kata Ade, nilai ekspor dari TPT senilai US$ 13 miliar.
"Kami harapkan bisa naik paling sedikit 100% dalam 3-4 tahun ke depan," kata Ade ketika dihubungi Katadata.co.id, akhir pekan lalu.
(Baca juga: Finalisasi Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional Dibayangi Hambatan)
Menurut Ade, RCEP dapat menguntungkan industri TPT Indonesia lantaran bisa membuka peluang masuk ke negara besar. Sebab, RCEP tak hanya diikuti oleh negara di Asia Tenggara, namun juga Australia, India, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, dan Selandia Baru.
Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Rachmat Hidayat pun menyatakan industri makanan dan minuman (mamin) telah siap menghadapi adanya RCEP. Selama ini industri mamin juga telah bersaing melalui adanya perjanjian perdagangan bebas (FTA) Asia Tenggara.
"Kami sendiri dari industri makan dan minuman sebenarnya siap," kata Rachmat.
Hanya saja, Rachmat menilai pemerintah perlu mempermudah produksi industri mamin lebih baik melalui regulasi. Selama ini, Rachmat menilai masih banyak regulasi yang menghambat industri mamin untuk bisa memiliki daya saing lebih baik.
(Baca: India dan Tiongkok Jadi Mitra Prioritas ASEAN di RCEP)
Rachmat mencontohkan, kebijakan pembatasan impor kerap menghambat industri mamin untuk bisa mendapatkan bahan baku. Padahal, tidak semua bahan baku tersebut tersedia di Indonesia.
Dia pun menilai adanya rancangan Undang-undang Sumber Daya Air (RUU SDA) dapat memberatkan industri mamin untuk bisa berproduksi lebih baik. Sebab, RUU SDA menyulitkan industri mamin dalam mendapatkan air untuk produksinya.
"Bila regulasi kondusif mendukung industri makanan dan minuman, tidak menyudutkan, kami sudah berterimakasih sekali ke pemerintah," kata Rachmat.
Rachmat pun menilai Indonesia bakal rugi meneken perjanjian dagang RCEP jika pemerintah tak memberikan dukungan regulasi. Sebab, barang-barang dari negara lain akan lebih kompetitif bersaing dengan produk industri mamin asal Indonesia.
Menurut Rachmat, produk mamin dari negara lain tidak terhambat oleh regulasi sebagaimana di Indonesia. Alhasil, produk tersebut memiliki harga yang lebih murah.
"Potensi kerugiannya yang jelas itu bisa sangat signifikan. Jadi ya kami tidak muluk-muluk mohon pemerintah mendukung dari sisi kebijakan dan regulasi," kata Rachmat.
(Baca juga: Pemerintah Segera Terbitkan Perpres 7 Perjanjian Dagang Internasional)
Ade pun meminta adanya insentif dari pemerintah agar industri TPT Indonesia lebih berdaya saing dibandingkan dari negara lain. Menurut Ade, insentif yang bisa diberikan pemerintah dapat berupa peringanan tarif listrik dan pajak.
Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Drajad Wibowo menilai pemerintah memang selama ini kurang mempersiapkan industri dalam negeri untuk menghadapi RCEP. Alhasil, Indonesia diprediksi mengalami kerugian lebih besar dibandingkan mendapatkan keuntungan dari RCEP.
Meski demikian, Indonesia tak bisa balik badan dari perundingan RCEP yang tengah berjalan saat ini. Sebab, perundingan RCEP sudah sejak lama dilakukan.
"Karena itu komitmen negara jadi harus tetap melakukan, tapi masalahnya negara punya kewajiban untuk mempersiapkan industri dan pelaku bisnis," kata Drajad.