Penerimaan Pajak 2018 Tumbuh 15%, Pengelolaan APBN Dinilai Kredibel

Rizky Alika
31 Desember 2018, 17:39
Pajak
Arief Kamaludin|KATADATA

Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) berpendapat pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 lebih kredibel dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pertimbangan lembaga pengkajian pajak ini bahwa target yang ditetapkan realistis untuk dicapai.

Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo mengatakan, perencanaan target yang dibuat pemerintah lebih moderat. Pertumbuhan penerimaan pajak dalam APBN 2018 dibidik naik 10,94% dari target APBN-Perubahan (APBN-P) 2017 sebesar Rp 1.283,6 triliun.

"Berkat kenaikan yang moderat dan realistis, pemerintah juga tidak mengubah target penerimaan pajak di tengah tahun. Hal ini menunjukan pengelolaan APBN yang lebih baik dan kredibel," katanya mengutip siaran pers yang diterima Katadata.co.id, Senin (31/12).

(Baca juga: Data Keuangan Nasabah Jadi Andalan Buat Capai Target Pajak 2019)

Menurut Prastowo, pertumbuhan penerimaan pajak pada tahun ini cukup bagus dan stabil pada kisaran 15% - 16% atau jauh di atas realisasi pertumbuhan 2017 sekitar 2%. Selain target lebih realistis, kinerja perpajakan juga didukung kenaikan harga komoditas, seperti minyak bumi dan batu bara, meskipun terus fluktuatif.

Kepatuhan untuk masing-masing jenis pajak juga meningkat terutama pascaprogram pengampunan atau amnesti. Kondisi ini mengindikasikan bahwa wajib pajak peserta amnesti memilih tetap patuh. "Pada dasarnya, masyarakat dapat merespon kebijakan dengan baik sepanjang mereka nilai menguntungkan," ujar Prastowo.

(Baca juga: Cara Pemerintah Kejar Penerimaan Tanpa Menambah Pajak Baru)

Meskipun tak ada kebijakan serupa amnesti pajak sepanjang 2018, CITA mengakui terjadi perbaikan secara administrasi, prosedur, dan proses bisnis. Perbaikan ini terutama terkait dengan penyederhanaan dan integrasi dokumen layanan di Dirketorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), percepatan restitusi, kemudahan pendaftaran wajib pajak dan Pengusaha Kena Pajak (PKP), serta ketentuan kebijakan audit berbasis risiko sesuai surat nomor SE-15/2018.

Pemerintah juga menerapkan kebijakan pajak responsif terhadap kondisi makroekonomi. Contohnya, pembatasan impor melalui kenaikan Pajak Penghasilan (PPH) Pasal 22. Kebijakan ini bukan untuk meningkatkan penerimaan melainkan memberi dampak psikologis kepada pasar uang untuk menyelamatkan rupiah.

Beleid pajak juga dinilai lebih berpihak kepada kelompok usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/2018 menyatakan, tarif PPh Final bagi pelaku UMKM menjadi 0,5%. "Tentu, di samping memberikan keringanan bagi mereka yang telah patuh, kebijakan ini juga bagian dari ekstensifikasi," kata Prastowo.

Penurunan tarif PPh final diharapkan sejalan dengan peningkatan kesadaran membayar pajak bagi pelaku UMKM mengingat sektor ini termasuk bisnis yang tak mudah dipajaki. Tapi, Prastowo juga menggarisbawahi perlu ada peraturan untuk kemudahan akuntansi dan aplikasi sederhana dalam pembukuan serta dukungan permodalan kepada mereka.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...