Saingi Malaysia, RI Berupaya Minta Pengurangan Tarif Sawit ke India
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita beserta para pelaku usaha komoditas unggulan Indonesia tengah bertolak ke India untuk melakukan misi dagang. Pemerintah terus melakukan lobi untuk menyelesaikan hambatan dagang berupa pengenaan tarif India untuk komoditas sawit.
Meskipun telah menggunakan skema ASEAN-India Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA), India masih mengenakan tarif sebesar 50% untuk ekspor sawit Indonesia beserta turunannya. Sedangkan Malaysia, dalam hal ini lebih diuntungkan karena dikenakan tarif masuk lebih rendah, yakni sekitar 45%. Karna sejak 1 Januari 2019, keduanya telah memiliki Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif (CECA) Malaysia-India.
(Baca: Bea Masuk Sawit India Dipangkas, Pengusaha Optimistis Ekspor Meningkat)
Sementara mengenai pertemuan pemerintah di India, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono berharap pembicaraan bilateral lebih banyak mengarah untuk tarif impor produk sawit. "Sehingga tidak ada perbedaan impor tarif produk sawit Indonesia dari Malaysia," kata Mukti dalam pesan singkat kepada Katadata.co.id, Jumat (22/2).
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pun mengatakan siap membuka akses pasar Indonesia untuk produk dari India. Pada 2018 misalnya, pemerintah membuka kuota impor daging kerbau beku India sebesar 100 ribu ton. Begitu juga pada tahun ini, pemerintah masih mengalokasikan impor daging kerbau beku dari Negeri Bollywood itu dalam volume yang sama.
Kemudian juga pada Juli 2018, Kementerian Perdagangan bersama Asosiasi Gula Rafinasi (AGRI) membuka persaingan pasar gula rafinasi dari India. Bahkan, pengusaha gula asal India meminta supaya bea masuk impor gula Indonesia diturunkan agar bisa bersaing dengan komoditas Australia dan Thailand.
Sebab, kala itu Indonesia mengenakan bea masuk impor sebesar 10% untuk impor gula dari India. Sementara untuk komoditas gula dari Australia dan Thailand dikenakan tarif lebih rendah yakni sekitar 5%. Namun, pemerintah mengaku tidak membatasi impor dari India, meski tidak ada penurunan tarif.
(Baca juga: Permintaan Pasar Tradisional Berkurang, Ekspor Sawit Tertekan)
"Apa yang mereka inginkan silakan jual, tetapi tetap berdasarkan kepentingan perdagangan, kami juga akan meminta pembicaraan mengenai perbedaan bea masuk sawit saat pertemuan ASEAN-India," ujarnya, Senin (17/2) lalu.
Kemarin (21/2), Enggar membuka forum bisnis antara Indonesia dan India di New Delhi, India. Sebanyak 28 perusahaan yang terdiri dari 37 pengusaha Tanah Air ikut serta dalam upaya peningkatan perdagangan antara kedua negara.
Pada forum bisnis itu, diskusi panel mengangkat tema utama Indonesia Sustainable Palm Oil. Tema ini dipilih karena India merupakan salah satu negara tujuan utama ekspor produk minyak kelapa sawit Indonesia dengan nilai ekspor 2018 mencapai US$ 3,62 miliar.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto juga menekankan hal serupa. Menurutnya, impor dari India tetap berdasarkan kepentingan business to business untuk komoditas yang dibutuhkan dari Indonesia.
Namun demikian, dia menjelaskan komponen otomotif dari India masih diperlukan oleh Suzuki. Sehingga, dia mempersilakan peningkatan perdagangan antara kedua pabrikan. Selain itu, bahan baku farmasi dari India juga dianggap masih penting untuk masuk ke Indonesia. "Nilai tambahnya banyak," kata Airlangga.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), perdagangan kedua negara tahun 2018 sebesar US$ 18,74 miliar, naik tipis 3,36% daripada tahun 2017 yang sebesar US$ 18,13 miliar. Meski begitu, pada periode yang sama, surplus Indonesia mengalami penurunan drastis -13,22%, menjadi US$ 8,70 miliar dari US$ 10,03 miliar.