KPK: Enam Penyebab Kekisruhan Perbedaan Data Batu Bara
Perbedaan data antarinstansi pemerintah masih menjadi masalah krusial saat ini, tak terkecuali di sektor mineral dan batu bara atau minerba. Akibatnya, banyak sisi negatif yang muncul, seperti dapat mempengaruhi penerimaan negara dari tidak samanya data dalam mata rantai perdagangannya.
Tenaga Fungsional Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Pencegahan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) Rizky Nugraha mensinyalir setidaknya ada enam penyebab yang membuat kekisruhan perbedaan data batu bara ini. Pertama, pemerintah tidak melakukan pengecekan ulang terhadap volume dan kualitas batu bara yang dilakukan oleh surveyor.
Kedua, pengawasan proses pengapalan dan pengangkutan begitu minim. Ketiga, adanya kemungkinan konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas surveyor. Penyebab selanjutnya, tidak adanya akses terhadap sistem pelaporan surveyor dan Direktorat Jenderal Minerba, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
(Baca: KPK Dorong Pemerintah Perbaiki Tata Niaga Minerba)
Kelima, ekspor mineral dan batu bara tersebesar di berbagai titik pelabuhan. Banyaknya pintu keluar ini cukup menyulitkan pengawasan. Keenam, terdapat perbedaan peraturan Menteri Perdagangan terkait tata niaga mineral dan batu bara.
Oleh karena itu, KPK mendorong Kementerian ESDM mengoptimalkan peran Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minerba (TekMIRA) sebagai pembanding terhadap laporan surveyor. Kedua, koordinasi lintas sektor, antara Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perhubungan. Hal ini untuk mencegah kesalahan dari perhitungan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Ketiga, Kementerian ESDM dan Kemendag perlu merevisi aturan tata niaga mineral dan batu bara terkait penyetoran PNBP sebelum pengapalan dan pengaturan eksportir terbatas. “Kami coba untuk mendorong berbagai lembaga untuk duduk bersama supaya bisa one map one policy,” kata Rizky pada acara Katadata Forum, di Jakarta, Kamis (28/2).
Bila langkah-langkah pembenahan data ini tidak dilakukan, terutama terkait kegiatan penjualan di dalam maupun luar negeri, penerimaan negara akan selalu tidak optimal. Beda data inilah yang disebabkan oleh tidak akuratnya perhitungan volume dan kualitas minerba yang akan dijual oeh pelaku usaha tadi. “Padahal volume dan kualiats menjadi dasar untuk perhitungan kewajiban royalti,” kata dia.
(Baca: Laode M. Syarif: Perbedaan Data Berpotensi Timbulkan Kerugian Negara)
Karut-marutnya data bisa dilihat pada produksi batu bara 2015, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 405,9 juta ton. Angka ini berbeda dengan data Kementerian ESDM yang menyebutkan sebesar 461 juta ton.
Kemudian, pada 2016, data ekspor batu bara yang dikeluarkan oleh BPS dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebanyak 368,9 juta ton, angka ini lebih tinggi dari data dari Kementerian ESDM yakni sebesar 331 juta ton.
Transaksi Tidak Wajar Batu Bara mencapai Rp 365,3 triliun selama 10 tahun
Perbedaan tersebut inilah yang bisa mempengaruhi penerimaan negara. Indonesia Corruption Watch (ICW) lalu mencatat bahwa selama 2006-2016 diindikasikan nilai transaksi perdagangan batu bara ekspor yang kurang dilaporkan atau dilaporkan secara tidak wajar mencapai US$ 27,062 miliar.
Koordinator Divisi Riset ICW Firdaus Ilyas sempat mengatakan sepanjang periode tersebut, catatan Kementerian Perdagangan menyebutkan ekspor batu bara 3.421,6 juta ton. Namun, menurut Kementerian ESDM volume ekspor batu bara Indonesia periode yang sama sebesar 2.902,1 juta ton.
Tak hanya antarkementerian, data ekspor yang dicatat Kementerian Perdagangan berbeda dengan negara pengimpor batu bara. Negara penerima batu bara Indonesia ini hanya 3.147,5 juta ton.
(Baca: Harga Batu Bara Acuan Diprediksi Stabil Meski Tiongkok Batasi Impor)
Secara nilai, ekspor batu bara juga berbeda. Selama 2006-2016, nilai ekspor batu bara yang tercatat berdasarkan data dari pelabuhan keberangkatan atau free on board (FOB) di Indonesia, mencapai US$ 184,853 miliar. Namun, jika mengacu data pelabuhan tujuan negara pembeli (Cost Insurance and Freight/CIF) sebesar US$ 226,525 miliar.
Dari data itulah ICW menghitung nilai transaksi yang tidak dilaporkan secara wajar dalam 10 tahun itu mencapai US$ 27,062 miliar atau sekitar Rp 365,3 triliun (kurs Rp 13.500). Negara tujuan ekspor yang terindikasi transaksinya tidak terlapor pada periode itu di antaranya Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Thailand dan Taiwan.