Menanti Nasib RUU Permusikan yang Kontroversial di Hari Musik Nasional
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Permusikan terus menjadi perbincangan hangat di kalangan artis, musisi, dan orang-orang yang menggeluti dunia permusikan Tanah Air. Sikap mereka terbelah dalam dua sisi, pro dan kontra. Satu pihak mendukung inisiatif sejumlah anggota DPR RI yang mengusulkan RUU ini, pihak lainnya mengkritisi kemudian menolaknya.
Sikap para penolak diungkapkan dalam beragam cara. Dari sekedar pernyataan di media, arena diskusi dan di berbagai platform media sosial hingga aksi unjuk rasa. Sebut saja penyanyi Marcell Siahaan yang secara blak-blakan menolak RUU Permusikan. “Kalau tujuan tidak jelas, RUU cacat hukum,” kata Marcell Siahaan di Jakarta, Kamis (7/2).
Salah satu masalahnya adalah pilihan penggunaan kata “permusikan” yang mencakup tema sangat luas. Padahal itu tak akan bisa dicakup hanya dengan 54 pasal. Selain itu, ada ketidakjelasan mengenai siapa yang akan dilindungi oleh RUU tersebut: konten, pelaku, atau penikmat musik.
(Baca: Kontroversi RUU Permusikan, Para Musisi Diminta Tak Saling Menjatuhkan)
Ketidakjelasan itu dinilai membuat RUU Permusikan tidak berdaya guna. Tetapi Marcell enggan ikut protes terhadap pasal-pasal dalam draf peraturan itu karena rancangan tersebut sejak awal sudah dianggap cacat.
Bagi dia, kalau RUU sudah tidak berdaya guna, tidak usah meributkan soal pasal karena dari awal sudah tidak benar. Akan lebih baik meninjau undang-undang yang sudah ada hubungannya dengan industri musik, kemudian merevisinya.
Atau, bisa saja bongkar RUU Permusikan, kemudian susun dari awal dengan menentukan tujuan yang jelas. Begitu tahu tujuannya, perlu diadakan kajian yang melibatkan banyak elemen, tidak cuma musisi-musisi, tapi ahli budaya hingga ahli hukum.
Sementara itu, musisi Iqbaal Ramadhan justru merasa optimistis bahwa RUU Permusikan dibuat untuk kebaikan musisi. Selaku musisi, dia juga ingin profesi ini diakui dalam tata kenegaraan di Indonesia. Dia ingin di kartu indentitas penduduk (KTP) tidak hanya ditulis sebagai musisi tapi bisa ditulis sebagai musisi, aktor, dan lainnya.
(Baca: RUU Permusikan Banjir Kritik, Anang Hermansyah Mundur dari LSPMI)
Meski demikian, dalam proses pembuatan undang-undang, Iqbaal berpendapat memang ada trial dan error. Masyarakat bisa sumbang saran untuk membuatnya menjadi lebih baik. Dia menyayangkan sikap beberapa musisi yang menanggapi negatif RUU Permusikan. Padahal, ada beberapa pasal yang baik untuk masa depan musisi, misalnya perlindungan hak para kru musik.
Sebagai contoh soal hak dan kewajiban kru musik yang sampai saat ini belum jelas. Padahal kru musik adalah “roda berjalannya sebuah band”. Begitu juga dengan pasal hak cipta. Melalui pasal ini, kata Iqbal, jika ada yang menulis lagu pembayarnya bisa beda-beda sehingga bisa menghidupkan musisi seperti di luar negeri. Namun harus diakui bahwa di dalam RUU ini masih ada yang harus direvisi.
Sedangkan musisi Armand Maulana berpendapat bahwa permasalahan lebih disebabkan pasal-pasal yang tercantum dalam RUU Permusikan tidak disosialisasikan secara maksimal. Dia sangat menyayangkan kurangnya sosialisasi oleh para musisi yang terlibat dalam perumusan aturan ini.
Menurut Armand, pasal yang ada dalam draf RUU ini tidak sempurna. Sebagai contoh, pasal-pasalnya belum mewakili para musisi. Salah satunya adalah pasal 32 ayat 1 yang berbunyi, “Untuk diakui sebagai profesi, pelaku musik yang berasal dari jalur pendidikan atau autodidak harus mengikuti uji kompetensi”.
Pasal ini pun menimbulkan perdebatan di kalangan musisi. Dengan sosialisasi yang lebih intens, harapannya akan ada persetujuan dari seluruh musisi, paling tidak 85 persen musisi Indonesia.
Anang Hermansyah Tarik Usulan RUU Permusikan
Di tengah keriuhan tersebut, pro-kontra dan kontroversi antarmusisi serta kegundahan sebagian musisi yang menolaknya, Anggota Komisi X DPR RI Anang Hermansyah tiba-tiba menarik diri dari kancah RUU Permusikan. Padahal sebelumnya dikenal sangat getol memperjuangkan RUU ini.
Anang Hermansyah pada Kamis (7/3) menyampaikan pernyataan pers yang isinya resmi menarik usulan RUU Permusikan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Pertimbangannya adalah masukan dan saran atas materi draft RUU Permusikan serta rencana musyawarah besar komunitas musik menjadi alasan penarikan usulan RUU Permusikan tersebut.
Anang Hermansyah mengatakan keputusan penarikan usulan RUU Permusikan sebagai tindak lanjut dari masukan dan tanggapan dari seluruh pihak di ekosistem musik di Tanah Air. Intinya agar terjadi kondusivitas di seluruh pihak di ekosistem musik di Indonesia.
Dia tidak menampik bila RUU Permusikan telah menimbulkan polemik khususnya di ekosistem musik di Indonesia. Aspirasi yang masuk, ada yang setuju dengan revisi draf materi RUU Permusikan, ada pula yang menolak seluruh materinya.
Sebagai wakil rakyat yang berasal dari ekosistem musik, Ananag merasa wajib menindaklanjuti aspirasi dari pihak terkait. Sama halnya saat mengusulkan RUU Permusikan juga berpijak pada aspirasi dan masukan dari pihak-pihak di bidangnya.
Bagi Anang, langkah ini sebagai proses konstitusional yang lazim dan biasa. Karena itu, dia berharap situasi di ekosistem musik kembali kondusif dan dapat berembuk dengan kepala dingin atas persoalan yang muncul di ekosistem musik di Indonesia.
Ke depan, persoalan yang terjadi di sektor musik di Indonesia dirembuk dengan baik melalui musyawarah besar ekosistem musik di Indonesia. Musisi asal Jember ini berharap penyelenggaraan musyawarah besar (mubes) dapat dilakukan tak lama setelah pelaksanaan Pemilu 2019.
Menunggu Hadirnya Peran Negara dalam Peta Jalan Industri Musik
Di tengah polemik RUU Permusikan, tantangan industri musik di Indonesia dari waktu ke waktu semakin kompleks. Pikiran dan pandangan dari ekosistem musik penting untuk merumuskan peta jalan atas tantangan-tantangan yang muncul.
Seperti konstruksi hukum di sektor musik masih 2.0, padahal saat ini eranya sudah 4.0. Di Amerika, pada 11 Oktober 2018 baru disahkan Music Modernization Act (MMA), regulasi terkait dengan hak cipta untuk rekaman audiao melalui teknologi berupa streaming digital.
(Baca: DPR: Pembahasan RUU Permusikan Tidak Tuntas Tahun Ini)
Persoalannya adalah bagaimana dengan dunia musik di Indonesia menghadapi tantangan itu?
Terkait dengan hal tersebut, Anang menyebutkan persoalan pajak di sektor musik yang saat ini banyak memanfaatkan medium digital seperti Youtube dan Facebook belum diatur dengan jelas.
Di sisi lain terkait urgensi keberadaan data besar (big data) untuk memuat seluruh direktori musik di Indonesia. Keberadaan UU Serah Simpan Karya Rekam Karya Cetak (SSKRKC) yang mengamanatkan seluruh karya rekam diserahkan ke perpustakaan nasional masih menimbulkan pertanyaan. Apakah seluruh lagu di Indonesia didata oleh perpustakaan nasional sehingga menjawab kebutuhan sektor musik?
Vokalis Kidnap ini juga menyinggung soal pendidikan musik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta. Perlu ada upaya menyelaraskan kurikulum pendidikan musik dengan kurikulum vokasi.
Sat ini, pendidikan musik tak populer di masyarakat. Pada 2016, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menyebut terdapat 33.482 badan usaha musik di Indonesia yang mengungkapkan standar pendapatan minimum pelaku musik sebesar Rp 3 juta lebih. Hal ini lalu menjadi pertanyaan apakah angka tersebut terkait dengan eksistensi profesi musisi.
Jika dilihat data Bekraf pada 2016, kontribusi sektor musik ke Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 0,48 persen. Namun di subsektor lainnya, yakni kuliner dan televisi, yang merupakan penyumbang terbesar PDB, banyak memanfaatkan sektor musik.
(Baca: Kontribusi Industri Musik Minim Dinilai karena Infrastruktur Terbatas)
Angka itu tidak terefleksikan dari kontribusi PDB dari sektor musik. Ada disparitas tajam antara subsektor televisi dan radio (8,27 persen), kuliner (41,40 persen), dan subsektor musik. Padahal, televisi-radio dan kuliner memanfaatkan instrumen musik.
Yang juga patut disoroti adalah saat pelaksanaan ibadah Ramadhan pada awal Mei mendatang. Momentum Ramadhan biasanya mengurangi jam pertunjukan musik dalam rangka menghormati ibadah puasa. Hal ini tentu berpengaruh terhadap pendapatan para pelaku musik di beberapa daerah karena kafe tidak boleh beroperasi. Sebagian persoalan tersebut harus dijawab bersama-sama oleh ekosistem musik dengan musyawarah dan membuka semua persoalan meja besar.
Persoalan tersebut, pada akhirnya tak bisa dilepaskan dari peran negara untuk turut menyelesaikan bersama-sama ekosistem musik di Tanah Air. Berbagai persoalan tersebut erat kaitannya dengan politik hukum pemerintah dalam memosisikan musik dalam bentuk kebijakan hukum.
Anang tampaknya tidak ingin RUU Permusikan menambah runcing polemik menjelang Hari Musik Nasional 9 Maret 2019. Mungkin dia juga menyadari bahwa polemik RU ini telah menambah gaduh suasana Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019. Sebelum benar-benar masuk Program Legislasi Nasional 2019, nasib RUU Permusikan pun bisa kandas.