Cerita Tual, Kota di Laut Banda yang Rentan Inflasi Tinggi
Dalam rilis indeks harga pada awal Maret 2019 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan inflasi Kota Tual sebesar 2,98%, tertinggi di Indonesia. Padahal, saat itu BPS mengumumkan deflasi sebesar 0,08% secara Nasional.
Tual merupakan sebuah kota di Provinsi Maluku. Kota ini terletak di Pulau Dullah yang merupakan bagian dari Kepulauan Kei. Inflasi ekstrem itu biasa terjadi di sana.
Berbeda dengan kota lain, secara administratif wilayah Kota Tual mencakup 66 pulau kecil, meski hanya 13 yang berpenghuni. Berada di tengah Laut Banda, wilayah ini kaya ikan. Namun, masyarakat Tual masih menggantungkan pasokan dari daerah lain untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman Kota Tual Fahry Rahayaan menyatakan, bahan pangan untuk warga Tual biasanya dipasok dari Bitung, Makassar, atau bahkan Surabaya. Dengan proses pengiriman lewat laut yang tergantung ombak dan cuaca, harga pangan di sana menjadi sangat fluktuatif.
(Baca: Target Devisa Pariwisata Rp 249 Triliun, BI Yakin Defisit Dagang Turun)
Jangankan dengan daerah lain, jarak Ibu Kota Tual dengan kecamatan terjauh, yakni Pulau-Pulau Kur mencapai 103 kilometer atau 57 mil laut. “Inflasi dan deflasi, fluktuasinya luar biasa,” kata Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman Kota Tual Fahry Rahayaan saat ditemui di Asia Mayors Forum di ICE BSD, Kamis (21/3) kemarin.
Fahry menjelaskan, kondisi topografi di Kota Tual relatif datar hingga berbukit. Di Pulau Dullah misalnya, tanahnya landai dengan ketinggian ±100 meter di atas permukaan laut dengan beberapa bukit rendah di tengahnya.
Sementara Pulau Dullah Laut dan Pulau Ut begitu rendah, sehingga air laut pasang kerap menggenangi pulau ini. Kondisi Kepulauan Tayando juga hampir secara keseluruhan sangat datar dan dekat dengan permukaan air.
Kondisi itulah yang membuat masyarakat sulit bercocok tanam. “Kegiatan ekonomi normal seperti daerah lain sulit dilakukan,” kata Fahry.
Potensi Perikanan dan Wisata
Wilayah Tual sebenarnya memiliki potensi hasil lautnya yang melimpah, dari ikan tuna, mutiara, hingga rumput laut. Namun, dengan peralatan seadanya, potensi itu belum tergali secara maksimal oleh hampir 70 ribu penduduk lokal.
(Baca: Dukung Pariwisata Sulsel, Lampu Tenaga Surya Dipasang di Ribuan Titik)
Oleh karena itu, Pemerintah Daerah (Pemda) Tual memberikan bantuan alat penangkap ikan atau budidaya rumput laut atau mutiara. "Harus ada bantuan dari pemerintah supaya produksi masyarakat berkesinambungan," ujar Fahry.
Selain itu, Pemda Tual juga membebaskan masyarakat untuk melakukan perencanaan pembangunan, eksekusi kegiatan, sampai pengawasan. Fahry menyatakan, meski ada pendanaan dari pemerintah, tetapi masyarakat bebas menentukan kegiatan ekonomi di Tual.
Program Pemda Tual adalah Tuntas Daerah Kumuh, Tuntas Pengangguran, dan Tuntas Kemiskinan. Selain dari anggaran desa, Pemda Tual juga menjaring Corporate Social Responsibility (CSR) dari berbagai perusahaan.
Tiga daerah yang sudah berkembang melalui program ini adalah Kampung Pelangi Warna-Warni di Desa Taat, Kampung Merah Putih di Desa Kiom, serta peningkatan pariwisata di Pulau Bair. Tahun 2019, Pemda Tual pun berencana untuk meningkatkan pembangunan desa di tiga pulau lain.
(Baca: Target Konstruksi Bandara Komodo Labuan Bajo Mundur hingga 2020)
Potensi wisata dari pantai-pantai Tual juga akan ditingkatkan. Meski, transportasi masih terbatas. Saat ini, hanya ada satu penerbangan langsung dengan Garuda Indonesia dari Jakarta ke Bandara Karel Sadsuitubun di Tual dengan harga tiket di kisaran Rp 5 juta. Selain itu, ada beberapa opsi yang lebih murah dengan transit di Ambon.
Toh, Fahry optimis potensi wisata Tual bisa dipromosikan melalui media sosial. Apalagi, kini kota tersebut telah terhubung jaringan internet. "Kami yakin bisa maju meski banyak tantangannya," katanya.