Cegah Banjir TKA di Indonesia, Pemerintah Batasi dengan Aturan Ketat
Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing yang berlaku mulai Juni 2018 banyak dituding sebagai aturan yang meminggirkan rakyat dan mengancam keberadaan tenaga kerja lokal. Padahal, sejatinya tidaklah demikian.
Saat menandatangani Perpres tersebut pada 26 Maret 2018 silam, Presiden Joko Widodo telah menjelaskan bahwa aturan yang menggantikan Perpres No. 72 Tahun 2015 itu ditujukan untuk mendukung perekonomian nasional dan perluasan kesempatan kerja melalui peningkatan investasi. Tidak ada satu niat pun dari pemerintah untuk membuat tenaga kerja lokal terpinggirkan oleh keberadaan tenaga kerja asing. Justru regulasi baru yang lebih terperinci ini mengatur ketat keberadaan TKA di Tanah Air.
Skema Penerimaan TKA
Perpres No. 20 Tahun 2018 ini mengatur secara rinci skema dan aturan penggunaan tenaga kerja asing (TKA) oleh pemberi kerja TKA, dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Hal itu dilakukan dengan memperhatikan kondisi pasar tenaga kerja di dalam negeri.
Setiap pemberi kerja TKA, menurut Perpres ini, wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia pada semua jenis jabatan yang tersedia. Jika jabatan tersebut belum dapat diduduki oleh tenaga kerja Indonesia, barulah jabatan tersebut dapat diduduki oleh TKA.
Dalam skema penempatan TKA, tahapan pertama adalah bahwa setiap pemberi kerja yang menggunakan TKA harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang disahkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Dalam rencana itu, setidaknya pemberi kerja harus mencantumkan alasan penggunaan, jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur organisasi perusahaan, jangka waktu penggunaan TKA, dan penunjukan tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan.
Untuk pekerjaan yang bersifat darurat dan mendesak, menurut Perpres ini, pemberi kerja TKA dapat mempekerjakan TKA dengan mengajukan permohonan pengesahan RPTKA kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk paling lama dua hari kerja setelah TKA bekerja.
Selanjutnya, pengesahan RPTKA akan diberikan paling lama satu hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. Adapun menteri atau pejabat yang ditunjuk, menyampaikan notifikasi penerimaan data calon TKA tersebut kepada pemberi kerja TKA. Notifikasi ini paling lambat keluar dalam dua hari kerja, dengan tembusan kepada Direktorat Jenderal Imigrasi.
Setelah menerima notifikasi, pemberi kerja TKA wajib membayar dana kompensasi penggunaan TKA yang dipekerjakan, melalui bank yang ditunjuk oleh menteri. Dana kompensasi ini merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA dan kewajiban memiliki RPTKA ini tidak diwajibkan bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, dan badan internasional yang mempekerjakan TKA.
Ditegaskan pula dalam Perpres ini bahwa setiap pemberi kerja TKA wajib menjamin TKA terdaftar dalam Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bagi TKA yang bekerja lebih dari 6 (enam) bulan dan/atau polis asuransi di perusahaan asuransi berbadan hukum Indonesia.
“Peraturan Presiden ini berlaku setelah tiga bulan terhitung sejak tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 39 Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly, pada 29 Maret 2018.
Jika dibandingkan dengan regulasi TKA sebelumnya (Perpres No. 72 tahun 2015), maka akan terlihat bahwa aturan lama sangatlah sederhana. Dalam perpres yang terdiri dari 6 bab dan 19 pasal itu, tidak dimuat soal pengenaan sanksi dalam penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia. Aturan tersebut juga tidak menyinggung soal adanya kewajiban pemberian jaminan sosial bagi TKA yang dipekerjakan di Indonesia.
Prosedur dan tata cara penggunaan tenaga kerja asing hingga jenis pekerjaan yang bisa diisi TKA pun tidak dirinci. Pasal 10 misalnya, hanya berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan TKA diatur dengan peraturan menteri." Sementara Perpres baru lebih lengkap dengan berisi 10 bab dan 39 pasal yang membahas TKA secara mendetail.
Berikut alur penempatan TKA:
Kasus-kasus TKA di Indonesia
Dalam perjalanannya, penempatan TKA di berbagai perusahaan atau proyek di Indonesia tidak selamanya berjalan mulus. Ombudsman Republik Indonesia pernah melakukan investigasi mengenai keberadaan tenaga kerja asing ( TKA) di Tanah Air. Investigasi dilakukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Sumatera Utara, dan Kepulauan Riau. Hasilnya, Ombudsman menemukan ada ketidaksesuaian data TKA antara yang dimiliki pemerintah dan temuan di lapangan.
Saat menggelar jumpa pers di Kantor Ombudsman, Jakarta, 26 April 2018, Komisioner Ombudsman RI, La Ode Ida mencatat sejumlah kasus yang dapat dikelompokkan dalan enam masalah besar, yaitu:
- Ombudsman menemukan ada sejumlah perusahaan yang mempekerjakan TKA tanpa Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Ada juga pekerja yang izin bekerjanya sudah habis, namun tak diperpanjang dan tetap dibiarkan bekerja.
- TKA asal China banyak yang bekerja sebagai buruh kasar, yang ditandai dengan penggunaan topi kuning. Adapun topi merah digunakan supervisor, dan manajer menggunakan topi hijau. Padahal seharusnya pekerjaan tanpa ketrampilan khusus ini bisa dikerjakan pekerja lokal.
- Sebagian besar TKA tidak bisa berbahasa Indonesia
- Kebijakan Bebas Visa menjadi pintu masuk TKA ilegal. Banyak TKA yang berpura-pura menjadi wisatawan, namun justru bekerja di dalam negeri secara ilegal. Pengawasan imigrasi di Bandara dinilai masih kurang untuk mengantisipasi hal ini.
- Ombudsman menemukan TKA yang bekerja di Indonesia mendapatkan bayaran jauh lebih tinggi dari pekerja lokal yang bekerja di posisi yang sama.
- Ombudsman menilai pengawasan tenaga kerja asing oleh Tim Pengawasan Orang Asing (Tim Pora) belum maksimal. Akibatnya, pelanggaran di sektor TKA masih banyak terjadi.
Penindakan
Berbagai kasus dalam penempatan dan pengelolaan TKA yang telah dikelompokkan oleh Ombudsman ini menjadi masukan yang berharga bagi Kementerian Ketenagakerjaan dan pihak-pihak lain yang terkait, seperti Kementerian Hukum dan HAM. Kedua kementerian pun sepakat melakukan integrasi sistem data secara online untuk mencegah dan menangani kasus-kasus yang melibatkan TKA dan TKI ilegal secara lebih optimal.
Demi meningkatkan pengawasan terhadap TKA, Kemnaker pun membentuk Satuan Tugas Pengawasan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang berbeda dengan Tim Pengawasan Orang (Pora) bentukan Kemenkumham. Satgas TKA bekerja lebih fokus dan mengerucut dalam hal pengawasan tenaga kerja. Sedangkan Tim Pora mengawasi seluruh orang asing yang masuk ke Indonesia melalui keimigrasian.
Kemnaker mengakui, saat ini ditengarai banyak modus visa turis atau kunjungan disalahgunakan oleh TKA untuk bekerja secara illegal di Indonesia. Kasus-kasus seperti itu harus segera ditangani secara bersama dengan melakukan sanksi tegas.
Dengan bantuan tim Imigrasi, sejak awal sudah dilakukan deteksi awal dengan pemeriksaan kelengkapan paspor, visa kerja, dan dokumen lainnya sebelum keberangkatan. Juga program deteksi finger print dan blacklist terhadap para TKA ilegal dan mafianya yang sudah dideportasi dari negara-negara penempatan sehingga tidak terulang lagi.
Menurut Menkumham Yasonna Laoly, penindakan hukum terhadap TKA ilegal akan lebih mudah bila didukung adanya informasi dan data yang lengkap. Pemantauan dan pengawasan akan lebih mudah dilakukan secara bersama-sama. Selama ini, pihak Imigrasi langsung melakukan pemeriksaan dan melakukan penindakan hukum bila mendapatkan informasi, pengaduan dan laporan adanya TKA ilegal dari Kemnaker. Pemeriksaan, sidak dan operasi yustisi terhadap TKA illegal pun melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk Kemnaker.
Terkait adanya TKA illegal yang masuk dengan menyalahgunakan visa kunjungan, Kemenkumham juga telah berkoordinasi juga dengan Kementerian Pariwisata untuk menangani masalah ini. Kemekumham pun tak segan-segan mengambil tindakan keimigrasian berupa pencekalan bila ada pengusaha asing yang ingin kembali ke negaranya namun belum melaksanakan kewajiban terkait urusan ketenagakerjaan. (*)