Tahun Depan, Diprediksi Sulit Jaga Rupiah di Bawah Rp 14.500 per US$
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, beban pemerintah di 2020 dalam menjaga nilai tukar rupiah akan sangat berat.
"Menahan rupiah di bawah Rp 14.500 per dolar AS pada 2020, di tengah kondisi global yang semakin rumit, tentunya akan sangat berat," katanya saat dihubungi Katadata.co.id, Selasa (9/7).
Sebelumnya, DPR menyepakati asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun depan sebesar Rp 14.000 hingga Rp 14.500 per dolar AS. Beberapa faktor yang diperkirakan sangat berpengaruh pada pergerakan nilai tukar, antara lain risiko berlanjutnya perang dagang.
Adapun perang dagang antara AS dan Tiongkok saat ini masih belum mencapai titik temu. Penasihat ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow sebelumnya mengatakan, kedua negara berencana melanjutkan pembicaraan penyelesaian perang dagang pada pekan ini.
(Baca: Ekonom Peringatkan Perang Dagang Jepang-Korsel Lebih Berisiko Bagi RI)
Bhima mengatakan, perang dagang saat ini telah meluas kepada Jepang dan Korea Selatan. "Dampak dari perang dagang yang meluas akan merugikan pasar keuangan di Asia," ujar Bhima. Pekan ini pula kedua negara itu akan melanjutkan perundingan dagang.
Di tengah meluasnya perang dagang, Bhima menilai, kinerja perdagangan Indonesia akan terus menurun. Perluasan perang dagang juga turut menurunkan realisasi investasi di 2020 nantinya. "Jadi inflow dana yang masuk di tahun depan akan terbatas," ucap dia.
Perselisihan antara Jepang dan Korea Selatan dimulai pada Oktober lalu, Mahkamah Agung Korea Selatan memutuskan bahwa Nippon Steel Jepang harus memberikan kompensasi kepada Korea Selatan untuk kerja paksa selama Perang Dunia II.
(Baca: Rupiah Melemah Seiring Spekulasi Bunga AS dan Ketegangan Jepang-Korsel)
Setelah itu, pada hari Jumat lalu, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengumumkan untuk memperketat pembatasan ekspor bahan baku produk berteknologi tinggi ke Korea Selatan. Akibatnya, raksasa teknologi Korea Selatan yakni Samsung Electronics Co dan SK Hynix Inc menghadapi penundaan pengiriman kepada para klien di Negeri Sakura.
Sementara itu, Korea Selatan berencana melaporkan pembatasan ekspor tersebut kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Korea Selatan juga akan memprioritaskan pengembangan peralatan dan bahan berteknologi tinggi yang dikembangkan negaranya sendiri dan akan mengurangi perdagangan dengan Jepang dalam jangka panjang.
Semakin meluasnya perang dagang tersebut, diperkirakan Bhima akan melebarkan defisit transaksi berjalan (CAD) Indonesia. "Pelebaran ini tentunya akan meningkatkan permintaan valas, khususnya terhadap dolar AS," tutupnya.
(Baca: BI: Suku Bunga AS Berpeluang Turun Jika Perang Dagang Berlanjut)