Susul Australia dan Italia, Sri Mulyani Bakal Kejar Pajak Netflix
Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa kementeriannya bakal mengejar pajak perusahaan asal Amerika Serikat (AS), Netflix. Australia, Italia dan Singapura pun sudah menerapkan kebijakan tersebut.
Netflix adalah penyedia layanan video streaming. Sri Mulyani mengatakan, perusahaan itu bukan merupakan badan usaha tetap (BUT) di Indonesia. Alhasil, pemerintah tidak bisa memungut pajaknya.
Padahal, perusahaan berbasis di California itu memiliki banyak pengguna di Tanah Air. “Kami akan terus mencari cara agar tetap mendapatkan hak perpajakan kita dari Netflix," kata dia di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (29/10).
Ia mencontohkan, beberapa negara seperti Australia dan Singapura telah menetapkan pajak untuk layanan Netflix. Karena itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengusulkan undang-undang (UU) yang mengatur perpajakan digital.
(Baca: Kominfo: KPI Belum Berwenang Awasi Konten Netflix dan YouTube)
"Dalam UU yang kami usulkan bahwa konsep mengenai ekonomi digital tidak memiliki BUT tetapi aktivitasnya banyak, maka mereka memiliki kehadiran ekonomis yang signifikan. Oleh karena itu, nantinya wajib membayar pajak," kata dia.
Pemerintah pun sempat memproyeksikan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari sektor digital, seperti Google dan Facebook dapat mencapai Rp 27 triliun pada 2025. Rencananya, pajak atas perdagangan elektronik akan menjadi salah satu poin yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) perpajakan.
Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan mengatakan pengaturan pajak di sektor digital penting lantaran total konsumsi jasa dan barang tak berwujud dari luar negeri terus meningkat. Pada 2018, angkanya bahkan mencapai Rp 93 triliun.
"Pada 2025, nilai konsumsi ini bisa mencapai Rp 277 triliun, sehingga Pajak Pertambahan Nilai (PPN)-nya Rp 27 triliun," kata Roberts, beberapa waktu lalu (5/9). Dalam RUU perpajakan yang tengah dirancang itu, pemerintah dapat menunjuk secara legal perusahaan digital sebagai subjek pajak.
(Baca: Potensi Pajak dari Google dan Perusahaan Digital Capai Rp 27 Triliun)
Hal tersebut dilakukan dengan mengubah definisi BUT tak lagi didasarkan pada kehadiran fisik, tetapi berdasarkan dampak ekonominya atau significant economic presence (SEP). Nantinya, pemerintah menetapkan dasar yang tepat untuk pengenaan PPh terhadap platform digital.
Pemerintah Australia dan Italia juga Mengejar Pajak Netflix
Bukan hanya Indonesia, pemerintah Australia dan Italia juga mengejar pajak Netflix. Pemerintah Negeri Kanguru itu mencatat, Netflix hanya membayar US$ 341.793 pajak untuk tahun kalender 2018.
Padahal, pemerintah Asutralia memperkirakan perusahaan asal AS itu memiliki penghasilan sekitar US$ 600 juta hingga US$ 1 miliar dari pelanggan lokal. Itu artinya, pajak yang dibayarkan Netflix hanya 0,06% dari pendapatan terendah dan 0,04% jika diukur dari penghasilan tertinggi.
Namun, Juru Bicara Netflix yang berbasis di Australia mengatakan bahwa mereka patuh terhadap pemerintah."Kami mematuhi semua hukum pajak Australia dan internasional," kata dia dikutip dari Financial Review, kemarin (28/10).
(Baca: Revisi PP, Facebook dan Google Terancam Diblokir jika Tak Bayar Pajak)
Selain itu, otoritas pajak di Italia melakukan penyelidikan terkait dugaan penggelapan pajak oleh Netflix. Padahal, perusahaan asal AS itu tidak hadir secara fisik di Negeri Pizza tersebut.
Namun, pemerintah Italia mencatat pengguna Netflix di negaranya mencapai 1,4 juta. “Jaksa penuntut di Milan mengatakan Netflix harus membayar pajak di Italia meskipun faktanya tidak ada kehadiran fisik secara lokal,” demikian kata salah seorang sumber media lokal, Italia Corriere della Sera dikutip dari Reuters, beberapa waktu lalu (3/10).
Pekan berikutnya, CEO Netflix Reed Hastings mengatakan bahwa perusahaannya bakal membuka kantor di Italia. Ia juga menegaskan, Netflix bakal membayar pajak di negara tersebut.
Reed mengatakan, Netflix memiliki lebih dari 2 juta pelanggan di Italia. Karena itu, ia akan investasi sekitar 200 juta euro selama dua tahun ke depan dan menyajikan film lokal di platform-nya.
(Baca: Rencana Revisi Peraturan Perusahaan Digital Tersandera Pilpres 2019)