Kerek Harga Sawit, RI Ajak Negara Produsen Terapkan Mandatori B20
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memimpin delegasi Indonesia dalam pertemuan tingkat menteri negara produsen minyak sawit atau The 2nd Ministerial Meeting of Palm Oil Producing Countries. Dalam pertemuan tersebut, sejumlah negara menyepakati enam langkah menghadapi isu negatif dan pelemahan harga sawit.
Pertemuan yang digelar di Kuala Lumpur, Malaysia itu dihadiri Menteri Industri Utama Malaysia Teresa Kok serta para menteri atau perwakilan dari negara penghasil minyak kelapa sawit. Mereka di antaranya Thailand, Kolombia, Nigeria, Papua Nugini, Ghana, Honduras, dan Brazil.
Indonesia dan anggota Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) masih menaruh perhatian khusus terhadap isu negatif minyak kelapa sawit. "Kami mencoba menyatukan dan menyepakati langkah-langkah konkret dalam menghadapi berbagai isu negatif terhadap minyak kelapa sawit," kata Airlangga melalui siaran pers, Senin (18/11).
(Baca: Biodiesel Kena Bea Masuk Eropa, Indonesia Dorong Program B30 dan B50)
Pemerintah Indonesia telah menerapkan berberapa kebijakan untuk meningkatkan konsumsi domestik untuk mengimbangi penurunan permintaan sawit dunia akibat kampanye hitam.
Kebijakan itu salah satunya berupa kewajiban pencampuran 20% minyak sawit ke dalam minyak solar atau biodiesel 20% (B20). Pada tahun depan, pemerintah berencana meningkatkan kandungan campuran minyak sawit sebesar 30% (B30).
Dari mandatori B20 menurutnya telah berhasil meningkatkan harga minyak sawit menjadi US$ 600 per ton. Karena itu, Airlangga mengajak negara produsen kelapa sawit lain untuk mengikuti langkah Indonesia.
(Baca: Kewajiban B30 Dapat Dongkrak Harga CPO Hingga US$ 96/ton)
"Terbukti sangat efektif menstabilkan harga minyak kelapa sawit dunia," ujar dia.
Selain itu, pertemuan tersebut membahas sejumlah isu terkini tentang minyak kelapa sawit, termasuk skema sertifikasi, proteksi lingkungan, akses pasar dan kebijakan perdagangan internasional.
Berdasarkan hasil pertemuan, para negara menyepakati beberapa hal sebagai berikut:
1. Mengajak negara penghasil minyak kelapa sawit untuk memperbaiki harga pada level yang lebih baik bagi petani/perkebunan rakyat.
2. Melanjutkan promosi dan meningkatkan konsumsi biodiesel untuk menyerap lebih banyak minyak kelapa sawit pada pasar global, termasuk melalui mandatori B30 di Indonesia, penerapan B20 di Malaysia, dan B10 di Thailand.
3. Komitmen untuk membangun satu standar bersama sertifikasi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan di 2020.
4. Terus melanjutkan langkah-langkah konkret dalam upaya menghadapi kampanye negatif terhadap kelapa sawit, termasuk melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
5. Mengundang negara produsen kelapa sawit lain untuk bergabung dalam CPOPC.
6. Meningkatkan kesejahteraan di tingkat perkebunan rakyat. Untuk itu, Indonesia terus mendorong program penanaman kembali (replanting) agar imbal hasil kelapa sawit bisa ditingkatkan. Saat ini, kebun rakyat di Malaysia dan Thailand menghasilkan yield lebih tinggi dibandingkan Indonesia.
Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ekspor minyak sawit Indonesia pada Agustus mencapai 2,89 juta ton atau turun 25 ribu ton dibandingkan Juni lalu.
Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono mengatakan penurunan ekspor terjadi karena berkurangnya permintaan dari India, Bangladesh, Pakistan, dan Uni Eropa (UE).
Sedangkan sepanjang Januari hingga Agustus 2019, ekspor minyak kelapa sawit mencapai 22,65 juta ton. Jumlah tersebut meningkat 3,8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Gapki memprediksi ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) tahun ini berpotensi menurun karena tuduhan Uni Eropa terkait subsidi biodiesel. Sejumlah negara saat ini tercatat sebagai pasar utama minyak sawit Indonesia seperti yang tergambar dalam databoks berikut.