Konflik AS-Iran Dikhawatirkan Ganggu Ekspor RI ke Timur Tengah
Ekskalasi Amerika Serikat (AS) dan Iran terus meningkat beberapa waktu terakhir. Memanasnya hubungan kedua negara, dikhawatirkan dapat menggangu ekspor ke Timur Tengah.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, konflik kedua negara bisa berdampak terhadap kinerja sektor rill.
"Ekspor bisa makin sulit, karena ketegangan akan pengaruh ke permintaan global dan Timur Tengah. Sehingga, permintaan barang dari kawasan tersebut ke Indonesia bisa semakin drop jumlahnya," kata Bhima kepada katadata.co.id, Senin (6/1).
(Baca: Harga Minyak Turun karena Ketidakpastian Respons Iran Terhadap AS)
Selain itu, ketidakstabilan ekonomi global juga akan menghambat arus distribusi barang, sehingga biaya logistik bisa semakin mahal. Hal itu bisa terjadi apabila selat Hormuz diblokade Iran dan sekutunya.
Hormuz merupakan salah satu jalur perairan terpenting di dunia yang terletak di antara Teluk Arab dan Teluk Oman. Selat ini biasanya digunakan sebagai jalur pengiriman minyak dunia.
"Jika terjadi blokade, logistik untuk produk ekspor Indonesia akan meningkat, sebab untuk menembus jalur perdagangan ke Timur Tengah harus memutar. Itu yang harus kita antisipasi, jangka pendek mungkin akan terasa," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani mengatakan, eskalasi konflik AS-Iran yang kian memanas dapat berdampak negatif terhadap harga minyak mentah dunia.
Indonesia saat ini merupakan salah satu importir minyak seiring kebutuhan energi nasional terus bertambah setiap tahunnya.
Oleh karena itu, jika konflik dan kenaikan harga minyak terus berlanjut hingga jauh melebihi target harga minyak dunia yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), stabilitas ekonomi nasional bisa terganggu dan menggerus devisa. Berdasarkan APBN 2020, harga minyak diasumsikan sebesar US$ 65 per barrel.
"Karenanya, sedapat mungkin subsidi BBM yang bersifat konsumtif harus dikurangi dan segera memperbanyak atau mendiversifikasi sumber energi nasional, khususnya ke energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan impor minyak," katanya kepada katadata.co.id.
(Baca: Konflik AS-Iran Memanas, Chevron Tarik Pekerja Ekspatriat dari Irak)
Sebab jika tidak diantisipasi, cepat atau lambat pemerintah harus melepas subsidi BBM secara keseluruhan. Hal ini berpotensi menciptakan keresahan masyarakat dan inflasi , terutama apabila tidak disertai dengan peningkatan produktifitas atau peningkatan pendapatan.
"Akibatnya, potensi krisis nasional menjadi lebih tinggi," ujarnya.
Di sisi lain, Shinta memandang Iran mitra dagang non-tradisional yang sangat potensial untuk Indonesia karena tidak banyak supplier dunia mau berdagang dengan negara tersebut lantran kerap tersandera konflik dengan AS.
Namun, Iran dan Indonesia masih merupakan negara sahabat sehingga potensi perdagangan itu masih terbuka luas bagi Indonesia tanpa harus menyulut retaliasi dari AS. Ini bisa dilakukan selama tidak melanggar kebijakan embargo AS (tidak melibatkan perusahaan AS).
"Kita bahkan bisa menguasai pasar tanpa kesulitan berarti di Iran, dari sisi kompetisi dagang karena ekonomi Indonesia-Iran sangat komplementer," katanya.
Hanya saja, lanjut Shinta, dengan konflik baru-baru ini yang semakin memanas, eksportir diperkirakan dapat kesulitan berdagang, terutama karena sarana perbankan yang tidak bisa mendukung transaksi perdagangan besar antara Indonesia-Iran akibat embargo AS.
(Baca: Temui Dubes AS dan Iran, Menlu Retno Minta Kedua Negara Tahan Diri)
"Secara tidak langsung ini menjadi glass ceiling terhadap perluasan ekspor nasional ke Iran padahal kita sangat butuh perluasan ekspor saat ini untk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional," ujar dia.
Menurut data Badan Pusata Statistik (BPS), total perdagangan Indonesia-Iran pada 2018 mencapai US$ 715,4 juta, naik sebesar 6,3% dibanding tahun sebelumnya. Ekspor Indonesia ke Iran tercatat sebesar US$ 296,4 juta dan impor dari Iran mencapai US$ 419 juta. Dengan demikian, Indonesia defisit sebesar US$ 112 juta.
Memanasnya hubungan AS dan Iran terjadi sejak akhir pekan lalu. Ketegangan itu terjadi usai insiden terbunuhnya pemimpin Pasukan Penjaga Revolusioner Iran Qassem Soleimani dalam serangan udara AS di bandara utama Baghdad, Irak pada Jumat (3/1) waktu setempat.
Departemen Pertahanan AS menyatakan, serangan udara tersebut dilakukan atas perintah Presiden AS Donald Trump untuk melindungi personel tentara dan diplomat mereka di luar negeri.
AS menuding Soleimani sebagai pemimpin pasukan organisasi teroris Islam. Soleimani juga dituding bertanggung jawab atas serangan terhadap pasukan AS dan sekutunya sejak mereka melakukan invasi ke Irak pada 2003.
Meski demikian, Soleimani dan pasukannya juga dinilai berjasa membantu pasukan Suriah memukul mundur ISIS pada tahun lalu.
Pada Minggu (5/1) malam, Trump mengirim tambahan 3.000 pasukan ke Kuwait untuk memperkuat keberadaan militer AS di Timur Tengah. Departemen Luar Negeri AS memerintahkan seluruh warga negaranya untuk meninggalkan Irak dan menutup Kedutaan Besar AS di Baghdad.