Sepakati UU Minerba, DPR dan Pemerintah Menuai Banyak Kritik
DPR dan pemerintah telah menyepakati Revisi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (minerba). Namun, kesepakatan tersebut justru menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar menilai pembahasan RUU Minerba terkesan dipaksakan. Sebab, pembahasan revisi beleid itu dilaksanakan di tengah pandemi corona.
Menurut dia, pemerintah dan DPR seharusnya fokus menangani dampak penyebaran Covid-19. Apalagi, pengesahan RUU Minerba tidak mendesak bagi rakyat.
Di sisi lain, dia menilai proses pembahasan RUU Minerba tertutup dari publik. "Tidak melibatkan partisipasi publik dengan sungguh-sungguh," kata Bisman kepada katadata.co.id, Selasa (12/5).
Lebih lanjut, dia menyebut, RUU Minerba seharusnya dibuat sebagai undang-undang perubahan, bukan revisi undang-undang. Sebab, perubahan dalam RUU Minerba mencapai 80%.
Selain itu, Bisman mengkritik klausal "menjamin" perpanjangan kontrak dalam RUU Minerba. Menurutnya, Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) seharusnya tidak diperpanjang dan dikembalikan kepada negara.
Hal itu, lanjut Bisman, sesuai amanat konstitusi UUD 1945 yang menyatakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Setelah kembali ke negara, pengelolaan wilayah pertambangan dapat diserahkan kepada BUMN, yang dapat menggandeng badan usaha pemegang KK dan PKP2B eksisting maupun badan usaha lain.
Selain itu, dia menyoroti tidak adanya perubahan luas wilayah dalam perpanjangan kontrak."Lebih parahnya lagi perpanjangan PKP2B tersebut dengan luas wilayah yang tidak dikurangi, ini jelas tidak adil serta tidak sesuai dengan asas proporsionalitas dan pemerataan pengelolaan sumber daya alam," kata dia.
Seperti diketahui, ada enam PKP2B yang menanti perpanjangan dari pemerintah, yaitu PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Multi Harapan Utama, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, dan PT Berau Coal.
Selain itu, Bisman mengkritik poin-poin krusial seperti resentralisasi kewenangan ke pemerintah pusat, peningkatan nilai tambah dalam negeri (hilirisasi), ketentuan mengenai divestasi, penguatan BUMN, dan terkait Ancaman Pidana yang lebih ringan.
(Baca: RUU Minerba Segera Diundangkan, Berikut Poin-poin Penting dan Krusial)
Di sisi lain, Iqbal Damanik dari Auriga Nusantara mengatakan pengesahan RUU Minerba menambah panjang masa ketergantungan ekonomi Indonesia pada komoditas sumber daya alam. Hal tersebut memperlihatkan kerakusan dan cara pandang yang eksploitasi.
Salah satunya tercermin dalam penambahan Pasal 169 A yang menyebutkan kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK selama 10 tahun.
“Fokus pemerintah pada penyelamatan pebisnis batubara ini, sangat disayangkan melalui perubahan undang-undang. Pemerintah harusnya memaksa para pemegang kontrak/perjanjian untuk menyelesaikan terlebih dahulu kewajibannya tanpa menjamin perpanjangan," ujar Iqbal.
Salah satu bentuk kewajiban tersebut, yaitu menutup lubang-lubang tambang yang disebabkan aktivitas pertambangan. "Total luas lubang tambang itu lebih dari 87 ribu hektare, atau setara dengan luas Jakarta digabungkan dengan Kota Bandung," katanya.
Sedangkan perwakilan dari Walhi Indonesia Edo Rakhman mengatakan pembahasan RUU Minerba di tengah pandemi corona telah meniadakan partisipasi publik dan akses keterbukaan informasi. DPR RI yang seharusnya fokus mengawasi anggaran dan pelaksanaan penangan Covid-19 justru sibuk mengesahkan undang-undang yang akan merusak dan mencemari lingkungan.
“Perilaku DPR RI ini seperti merampok di tengah kebakaran, di tengah publik yang terdampak, dan akan terdampak oleh pertambangan, yang sedang berjuang melawan Covid-19," ujar Edo.
(Baca: Pemerintah Ingin Aturan Divestasi 51% Lebih Luwes dalam RUU Minerba)
Lebih lanjut, dia mengatakan, pembahasan RUU Minerba secara daring ternyata tidak membuka partisipasi publik. Sebab, media dan publik dikeluarkan dari pembahasan secara daring tersebut. "Undang-Undang yang akan disahkan DPR ini dipastikan sarat akan kepentingan investor,” katanya.
Semantara itu, Aryanto Nugroho dari PWYP Indonesia menilai RUU Minerba mereduksi kewenangan Pemerintah Daerah yang merupakan mandat reformasi. Dengan kata lain, RUU Minerba bertentangan dengan prinsip otonomi daerah untuk memperkuat kemandirian daerah.
"Alasan penarikan kewenangan perizinan ke pusat karena penerbitan izin di daerah diduga banyak korupsi, sangat tidak relevan," ujar Aryanto.
Menurut dia, masalah di daerah merupakan masalah korupsi politik dan penegakan hukum, bukan masalah visi dan filosofi pembagian kewenangan pusat dan daerah. Penarikan kewenangan perizinan ke pusat justru kontradiksi dengan upaya pembinaan dan pengawasan yang telah dibangun oleh pemerintah daerah.
“Selain itu, apakah Pemerintah Pusat sanggup melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap ribuan izin tambang yang tersebar di seluruh Indonesia? Bagaimana proses transisinya? Baik transisi SDM maupun kelembagaan?" ujarnya.
Berdasarkan catatan masyarakat sipil, proses peralihan perizinan dari Kabupaten ke Provinsi sampai hari ini masih memiliki kendala. Selain itu, dia menyebut RUU MInerba berpotensi menyebabkan eksploitasi besar-besaran tanpa kontrol dengan dihapuskannya ketentuan klausul pengendalian produksi dan ekspor.
Perwakilan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah mengatakan RUU tersebut tidak berangkat dari masalah yang lahir dan dihadapi rakyat, buruh dan lingkungan hidup di lapangan. Selain itu, RUU Minerba dibahas tanpa evaluasi atas kondisi krisis yang dihadapi masyarakat.
"Pembahasan revisi RUU Minerba lahir dari titipan oligarki batu bara pada politisi senayan beserta parpolnya masing-masing sebagai akibat dari bentang politik kita yang dicengkeram oleh oligarki,” ujar Merah.
Lebih lanjut, dia mengatakan, RUU Minerba justru memberikan hak veto kepada pengusaha pertambangan dan batu bara. Sedangkan partisipasi rakyat korban pertambangan, masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya, seperti perempuan ditinggalkan, tidak dilibatkan dan tidak diakomodasi suaranya.
"Pembicaraan dalam sidang hanya seputar birokrasi perizinan, investasi dan divestasi saham, keselamatan rakyat korban tambang, ancaman kesehatan akibat tambang dan batu bara, hingga masalah polusi dan pencemaran lingkungan hidup diabaikan,” katanya.
Menurut Merah, sebelum RUU Minerba disahkan, ada 44 persen daratan kepulauan Indonesia dikapling konsesi pertambangan dan migas. Jika RUU tersebut resmi diketuk, perluasan penambangan tidak akan mengenal batas lagi dan bisa memicu pengusiran warga sekitar tambang.
"Hal itu bisa menyebabkan pengungsi di atas tanah sendiri karena sudah dikuasai pertambangan,” ujar Merah.
(Baca: RUU Minerba Menjamin Perpanjangan Kontrak Perusahaan Batu Bara)