Harga Minyak Menguat, Analis Justru Khawatir Anjlok Lagi karena 3 Hal
Harga minyak dunia bergerak bervariasi pada perdagangan pagi, hari ini (10/6). Namun analis khawatir harganya akan anjlok lagi, meski negara-negara pengekspor minyak dan Rusia (OPEC+) sepakat untuk memperpanjang pemangkasan produksi.
Mereka telah memotong produksi 9,7 juta barel per hari (bph) selama Mei dan Juni. Kini, OPEC+ sepakat untuk memperpanjang pemangkasan produksi hingga akhir Juli.
Langkah tersebut membuat harga minyak terus menguat. Berdasarkan data Bloomberg per Pukul 7.04 WIB, harga minyak jenis Brent untuk kontrak pengiriman Agustus 2020 naik 0,93% menjadi US$ 41,18 per barel.
Namun, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Juli 2020 turun tipis 1,57% ke level US$ 38,33 per barel. “Dolar Amerika Serikat (AS) yang sedikit lebih kuat membebani harga minyak mentah. Juga prospek produksi yang lebih tinggi dari Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab dan Oman pada Juli tidak membantu harga," kata Analis UBS Giovanni Staunovo, dikutip dari Economic Times, Rabu (10/6).
(Baca: OPEC+ Perpanjang Pemangkasan Produksi, Harga Minyak Kembali Naik)
Goldman Sachs pun memperkirakan harga minyak akan terkoreksi. Sebab, penguatan harga sejak awal pekan ini semestinya akan mendorong pasokan.
“Kami percaya, risiko penurunan telah meningkat secara substansial dan sekarang sedang mencari koreksi 15-20%, yang mungkin sudah berjalan setelah aksi jual ringan pada Senin lalu,” tulis tim riset komoditas Goldman Sachs yang dipimpin oleh Jeffrey Currie dalam catatan analis, dikutip dari CNBC Internasional, Rabu (10/6).
Oleh karena itu, Goldman Sachs masih ragu-ragu untuk merekomendasikan harga minyak bakal menguat dalam waktu yang lama. “Ini karena beberapa alasan,” tulis para analis.
(Baca: Pertemuan OPEC+ Hari ini, Harga Minyak Dunia Tembus US$ 40 per Barel)
Pertama, karena persediaan minyak melebihi kapasitas dan permintaan. Goldman menilai, indeks komoditas masih jauh di belakang pertumbuhan harga spot. Kesenjangan ini tecermin dari aliran dana dari investor ritel sejak awal April, menghasilkan pengembalian minus 20%. “Meskipun ada kenaikan harga WTI 95%,” tulis mereka.
Mereka menyadari bahwa permintaan minyak mulai pulih, seiring dengan menurunnya jumlah penambahan kasus positif virus corona di beberapa negara. “Tetapi, perhatikan bahwa harga berada di depan penyeimbangan kembali di mana minyak masih menghadapi persediaan miliaran barel," tulis tim Goldman.
Kedua, beberapa analis percaya bahwa menyeimbangkan pasokan dengan permintaan butuh waktu hingga pertengahan 2021. Ini pun dengan asumsi permintaan pulih dan OPEC tetap memangkas produksi.
Terakhir, masih banyak ketidakpastian. Apalagi, WHO menekankan adanya risiko gelombang kedua pandemi corona.
(Baca: Harga Minyak Dunia Stabil Menanti Kejelasan Pemangkasan Produksi OPEC+)
Lembaga pemeringkat Moody`s pun memangkas prospek harga minyak menjadi lebih bearish. Mereka memperkirakan harga komoditas ini rata-rata US$ 8 per barel lebih rendah dibanding prospek Maret 2020.
"Ini untuk memperhitungkan guncangan yang lebih dalam dan lebih tahan lama terhadap permintaan minyak global akibat Covid-19,” tulis Moody's. Tim analis menurunkan asumsi harga minyaknya, dengan Brent diprediksi rata-rata US$ 35 tahun ini dan US$ 45 per barel pada 2021.
Akan tetapi, Moody's menempatkan asumsi harga minyak jangka menengah bisa di kisaran US$ 45 hingga US$ 65 per barel.
Rystad Energy yang berbasis di Norwegia memperkirakan, harga minyak terus berfluktuasi di kisaran US$ 40 per barel hingga akhir bulan ini. “Sampai kita memiliki gagasan yang lebih pasti tentang bagaimana Covid-19 dan produksi AS berkembang," tulis perusahaan dalam pesan untuk klien.
(Baca: Pertemuan OPEC+ Hari ini Batal, Harga Minyak Dunia Turun Tipis)