Potensi Besar Bank Digital yang Makin Dilirik Banyak Pemain
Bank-bank besar seperti Bank Central Asia (BCA) hingga perusahaan digital dan teknologi Grab mulai merambah model bisnis bank digital. Aksi korporasi ini tidak terlepas dari besarnya potensi pasar layanan keuangan digital di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Berdasarkan kajian Google, Temasek dan Bain pada tahun lalu, nilai dari layanan keuangan digital di Asia Tenggara diproyeksi US$ 38 miliar sampai US$ 60 miliar (Rp 554,2 triliun-Rp 875 triliun) per tahun pada 2025.
Layanan keuangan digital yang dimaksud termasuk bank, Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP), asuransi, manajemen aset hingga teknologi finansial (fintech).
Secara spesifik, nilai bisnis sektor pembayaran digital di regional diperkirakan melebihi US$ 1 triliun pada 2025. (Baca: Potensi Nilai Keuangan Digital Asia Tenggara Rp 840 Triliun pada 2025)
Terlebih lagi, masyarakat Indonesia kini mulai beralih ke pembayaran digital karena pandemi corona. Transaksi fintech pembayaran seperti GoPay besutan Gojek, OVO, DANA pun melonjak.
"Tekanan pandemi mengubah kebiasaan konsumen menuju valuable speed, transparansi, dan lainnya dengan tren digital saat ini," kata Asosiasi Modal Ventura Untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Jefri R Sirait kepada Katadata.co.id, Jumat (3/7).
Gojek misalnya, mencatatkan tambahan 100 ribu mitra penjual (merchant) baru dalam tiga bulan di tengah pandemi virus corona. Ini akan mendorong transaksi di aplikasi, yang 50% di antaranya mengggunakan layanan pembayaran GoPay.
Transaksi di DANA pun melonjak 15% selama pandemi. Sedangkan jumlah pengguna baru OVO meningkat hampir empat kali lipat atau 267% selama pagebluk Covid-19. Transaksi yang meroket yakni pembayaran untuk e-commerce dan pesan-antar makanan.
(Baca: Riset Google: Nilai Ekonomi Digital Indonesia Saat Ini Rp 568 Triliun)
Meski begitu, perbankan tetap mendapat kue terbesar dari melonjaknya transaksi pembayaran digital selama pandemi. Berdasarkan riset Rapyd selama Maret-April 2020, layanan pembayaran milik BCA, Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Permata masuk 15 besar yang paling sering dipakai.
Sebanyak 12,2% dari 500 responden yang disurvei di Indonesia memilih KlikBCA untuk bertransaksi. Lalu 8% memilih layanan pembayaran Bank Mandiri, 4,6% BRI, dan 4% BNI. Data ini tampak pada Databoks berikut:
Berkaca dari data-data tersebut, tidak heran jika bank-bank besar mulai merambah model bisnis bank digital. "Setiap ada positive side, maka sektor ini menjadi pilihan investor," kata Jefri.
Hal senada disampaikan oleh Ekonom INDEF Nailul Huda. “Potensi untuk layanan bank digital masih sangat besar karena nasabah milenial banyak, pertumbuhan kelas menengah pesat, penetrasi internet semakin masif, serta adanya pandemi Covid-19,” kata dia.
(Baca: Bank Ramai Beralih ke Digital, BCA Ramal Dua Pekerjaan Hilang)
Namun, ada beberapa persoalan yang harus diatasi para pelaku usaha ini untuk meningkatkan transaksi layanan keuangan di Tanah Air. Permasalahan yang dimaksud seperti maraknya kejahatan siber, literasi keuangan digital yang rendah, sistem keamanan data yang rentan, dan belum adanya regulasi perlindungan data.
“Bank pasti akan bergerak ke arah bank digital,” kata dia. Bisa dengan membuat sistem sendiri maupun mengakuisisi perusahaan penyedia layanan dompet digital.
Namun, geliat bank digital di Indonesia belum semasif negara lain, seperti Singapura maupun Hong Kong. Bank digital di Singapura tidak memiliki kantor cabang. Induk Shopee, Sea Group, Grab, dan Ant Financial pun mengajukan izin untuk mendirikan bank digital di negeri jiran itu.
Sebanyak 14 dari 21 proposal yang diajukan memasuki tahap penilaian pada pertengahan Juni lalu. (Baca: Berambisi jadi Bank Digital di Singapura, Grab Gandeng Singtel)
Head of Financial Services Grab Ankur Mehrotra sempat mengatakan, peluang pasar bisnis keuangan 20 kali lebih besar dibanding layanan berbagi tumpangan (ride-hailing). Sebab, ada sekitar 438 juta orang yang tidak memiliki rekening bank di Asia Tenggara pada 2018.
Namun, Indonesia belum memiliki aturan terkait bank digital. Perbankan yang merambah layanan digital baru mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12 Tahun 2018.
Dalam regulasi tersebut, definisi perbankan digital yakni layanan yang dikembangkan dengan mengoptimalkan pemanfaatan data nasabah dalam rangka melayani konsumen secara lebih cepat, mudah dan sesuai dengan kebutuhan.
OJK pun tengah mengkaji aturan terkait bank digital, yang definisinya sama dengan Singapura maupun Hong Kong. “Indonesia akan menuju ke sana,” ujar Deputi Komisioner Institute dan Keuangan Digital OJK Sukarela Batunanggar, pada Oktober tahun lalu.
(Baca: BCA, Artos dan Fenomena Bank Digital di Indonesia)
Meski begitu, beberapa bank tetap merambah layanan digital dengan mengacu pada POJK Nomor 12 Tahun 2018. BCA misalnya, berencana mengubah nama Bank Royal Indonesia menjadi Bank Digital BCA.
Bank milik Grup Djarum itu telah mengakuisisi Bank Royal pada November 2019. Pergantian nama Bank Royal menjadi Bank Digital BCA rencananya dilakukan pada semester II tahun ini.
Direktur Keuangan BCA Vera Eve Lim mengatakan, Bank Royal Indonesia akan memiliki modal inti Rp 1,3 triliun. Namun, besaran modal ini masih lebih rendah dari yang disyaratkan OJK Rp 3 triliun sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum. Pemenuhan modal inti harus dicapai paling lambat 31 Desember 2022.
"Kami Bank BUKU IV dan tidak harus memenuhi persyaratan modal inti Rp 3 Triliun. Untuk sementara kami lihat suntikan modalnya ke Bank Royal cukup,” ujar Hera saat konferensi pers virtual, pada Mei lalu (28/5).
(Baca: Investasi di Sektor Fintech Tumbuh 93% Tahun Lalu)
Lalu, Bank Artos yang resmi diambil alih bankir senior Jerry Ng dan pengusaha Sugito Walujo pada akhir 2019, serta akan berfokus pada layanan digital. Jerry Ng masuk melalui PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (MEI), sedangkan Sugito Walujo lewat Wealth Track Technology Limited (WTT).
Bank Artos bahkan sempat diisukan akan terintegrasi dengan Gojek. Kini, Bank Artos berganti nama menjadi Bank Jago.
Selain itu, perusahaan teknologi asing seperti WeChat Pay dan Alipay ingin merambah pasar keuangan Indonesia. Wechat Pay resmi beroperasi di Indonesia menggunakan jaringan PT Bank CIMB Niaga Tbk mulai bulan ini. Sedangkan pesaingnya, Alipay saat ini masih menunggu restu dari BI.
(Baca: Facebook, PayPal, Google hingga Tencent Suntik Investasi ke Gojek)
Lalu, Facebook menyuntikkan dana kepada Gojek. Bergabungnya raksasa teknologi Amerika Serikat (AS) itu di Gojek disebut-sebut sebagai jalan masuknya WhatsApp Pay ke Indonesia.
Namun, WhatsApp dan Facebook enggan berkomentar terkait kabar itu. “Kami belum ada pembaruan informasi terkait pembayaran (di Indonesia),” kata Direktur Komunikasi APAC WhatsApp Sravanthi Dev pada awal Juni lalu (4/6).
Meski begitu, ia menegaskan bahwa perusahaan tertarik untuk menyediakan layanan pembayaran ke Indonesia. “Kami sedang dalam percakapan dengan mitra. Tetapi tidak ada yang bisa kami bagikan saat ini,” ujar dia.
Fintech pembiayaan seperti Akulaku juga ingin merambah layanan bank digital. "Kami dapat mencapai terobosan dalam hal perbankan berbasis mobile dan penerbitan kartu, karena layanan ini dapat dengan mudah diotomatisasi," kata CEO Akulaku William Li dikutip dari Kr-Asia.
(Baca: Fintech RI Mirip Tiongkok, Investor Sebut OVO & DANA Berpotensi Merger)
(REVISI: Artikel ini mengalami perubahan pada Rabu 8 Juli Pukul 15.00 WIB pada paragraf 4)