Incar TOD, MRT Jakarta Bidik Potensi Pendapatan Rp 242 Triliun

Image title
24 Maret 2020, 15:18
Sejumlah penumpang antre memasuki kereta Mass Rapid Transit (MRT) di Stasiun Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (6/12/2019). MRT Jakarta memproyeksi potensi pendapatan non-tiket dari TOD mencapai Rp 242 triliun per tahun.
ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Sejumlah penumpang antre memasuki kereta Mass Rapid Transit (MRT) di Stasiun Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (6/12/2019). MRT Jakarta memproyeksi potensi pendapatan non-tiket dari TOD mencapai Rp 242 triliun per tahun.

Ia mengatakan, bisnis TOD mampu menjadi sumber pendapatan non-tiket terbesar MRT Jakarta, dengan potensi hingga Rp 242 triliun per tahun apabila dimanfaatkan secara maksimal.

Pemprov DKI Jakarta sebelumnya telah menunjuk MRT Jakarta sebagai master development, untuk pembangunan TOD melalui Pergub Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pengembangan Kawasan Transit Oriented Development.

Namun, Ghamal menilai proyek TOD di Jakarta sangat menantang karena MRT Jakarta tidak memiliki lahan dan tidak mungkin membebaskan lahan sekitar stasiun, yang sarat bangunan perkantoran dan area bisnis.

“Jadi, kita selalu berpikir kita ini value creator, kita punya 13 stasiun dan yang namanya TOD itu radius 700 meter dari stasiun. Ini sudah memberikan efek ke properti," ungkap Ghamal.

Ia mencontohkan, Blok M Plaza mampu mendapatkan 25.000 pengunjung per hari sejak adanya MRT Jakarta, padahal biasanya hanya 15.000 pengunjung per hari. Ghamal menyebut efek kehadiran MRT inilah yang akan dimonetisasi.

(Baca: MRT dan LRT, Semua Proyek Pengurai Kemacetan Jabodetabek)

Ghamal berujar, apabila TOD di Jepang dan Hong Kong dibangun karena konsesi lahan, MRT Jakarta memiliki konsep lain, yakni dengan “konsesi udara”.

Artinya, apabila pengembang ingin membangun atau meningkatkan properti yang dilintasi MRT, maka MRT mendapat timbal balik, karena area bisnis atau perumahan menjadi ramai atau nilainya bertambah karena adanya MRT.

“Saya nggak minta konsesi lahan, saya minta udaranya itulah yang diberikan ke MRT. Jadi koefisien lantai bangunan (KLB) itu terjadi karena MRT. Jadi, MRT harus dapat kesempatan monetizing sebagian value bukan semuanya untuk MRT,” katanya.

Menurut Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang, jika TOD sudah terbangun dan beroperasi, maka tidak tertutup kemungkinan MRT bisa lepas dari subsidi.

“Di Jepang juga tanpa subsidi bisa jalan karena memang mereka jualan TOD. Pemda DKI dan MRT kalau jualan TOD, lalu komersial, iklannya jalan dan sedikit demi sedikit mengurangi subsidi,” ujar Deddy.

Halaman:
Reporter: Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...