Morgan Stanley: Nikel Bakal Geser Batu Bara Jadi Komoditas Unggulan RI
Riset bank investasi dan keuangan asal Amerika Serikat, Morgan Stanley, memprediksi penggerak produk komoditas Indonesia akan bergeser dari batu bara ke nikel. Ekspornya diperkirakan akan naik seiring dengan peningkatan investasi yang signifikan dari perusahaan Tiongkok.
Potensi itu semakin besar karena Indonesia memiliki cadangan bijih nikel terbesar di dunia. Kualitasnya pun sesuai untuk bahan baku baterai mobil listrik (EV). “Kami yakin batu bara tidak akan melanjutkan perannya sebagai pendorong utama pertumbuhan karena banyak negara ingin menurukan emisi karbon dalam perekonomiannya,” tulis riset yang dirilis Selasa lalu, (6/10).
Sejak 2000 hingga awal 2010, pertumbuhan ekonomi negara ini ditopang oleh batu bara. Kontribusinya terhadap produk domestik bruto di atas 10%. Namun, angkanya terus menurun dan pada kuartal kedua tahun ini menjadi hanya 7% seiring dengan pelemahan konsumsinya.
Analis komoditas global Morgan Stanley Susan Bates memperkirakan permintaan jangka menengah untuk nikel justru akan bullish. “Hal ini mengingat prospek permintaan stainless (baja tahan karat) dan kendaraan listrik yang kuat,” katanya.
Prediksinya, permintaan stainless akan naik sebesar 2% per tahun hingga 2025 seiring intensitas penggunaannya di pasar negara berkembang. Permintaan nikel untuk kendaraan listrik juga berperan penting dalam dua hingga tiga tahun ke depan. Pertumbuhannya dapat mencapai 12% pada 2025 dan 23% pada 2030.
Produksi nikel negara ini, menurut catatan Wood Mackenzie, naik 36% pada 2014 hingga 2019 menjadi 817 ribu ton. Angka ini setara 32% pangsa pasar global atau yang terbesar di dunia. Kenaikan itu terjadi berkat percepatan investasi di pabrik pengolahan dan peleburan (smelter) nikel. Produksinya tahun lalu mencapai 448 ribu ton atau 19% dari pasokan global.
Vale dan Aneka Tambang mendorong penambahan produksi tersebut. Lalu, perusahaan asal Tiongkok juga mendongkrak angkanya. Yang terbesar adalah investasi Tsingshan bersama Delong melalui PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) yang beroperasi di Konawe, Sulawesi Tenggara. Perusahaan menggelontorkan dana US$ 6 miliar (sekitar Rp 88 triliun) untuk membangun smelter komoditas tambang itu.
Tsinghan dan Delong berinvetasi sejak 2015 dan produksinya berkembang pesat sejak saat itu. Pangsa peleburan nikel Indonesia naik dari 5,1% secara global pada 2014 menjadi 19,4% pada 2019.
Soal hilirisasi memang menjadi fokus pemerintah untuk memberi nilai tambah komoditas Indonesia. Presiden Joko Widodo dalam pidato Nota Keuangan 14 Agustus lalu mengatakan hilirisasi nikel akan diperkuat untuk membuat produk feronikel, pelat baja tahan karat, dan baterai lithium.
Morgan Stanley melihat ketergantungan pada komoditas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tak sepenuhnya tepat. Hal ini terbukti ketika harganya jatuh pada 2013 hingga 2014, angka pertumbuhan pun langsung melorot ke 5% dari sebelumnya lebih 6%. “Namun, menurut kami, memiliki nikel sebagai penggerak komoditas dalam jangka menengah merupakan sudah tepat, sementara Indonesia terus maju dengan tahap reformasi berikutnya,” tulisnya.
Produsen Otomotif Dorong Komoditas Nikel
Peningkatan produksi dan investasi nikel juga datang dari produsen otomotif. Pada akhir 2019, Hyundai Motor mengonfirmasi akan membangun pabrik manufaktur pertamanya di Indonesia. Total modalnya mencapai US$ 1,55 miliar hingga 2030. Perusahaan asal Korea Selatan itu melihat potensi produksi EV di negara ini.
Dengan penanaman modal itu, sebanyak 23 ribu pekerjaan baru akan tercipta di Kota Deltamas, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Reuters pada 22 Juni 2020 pun melaporkan Hyundai Motor Group dan LG Chem sedang menimbang membentuk perusahaan patungan untuk memproduksi baterai EV di Indonesia. Namun, kedua perusahaan sampai sekarang belum membuat keputusan.
Lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada awal September lalu menyebut Tesla sedang menimbang untuk membangun pabrik lithium di Indonesia. Pertimbangan utamanya adalah negara ini memiliki cadangan nikel tersebut. Namun, produsen mobil listrik asal Amerika Serikat, Tesla, sampai sekarang belum mengomentari laporan itu.