Revisi UU Migas Baru Dibahas Kuartal III 2022 setelah UU EBT Rampung
Revisi undang-undang tentang minyak dan gas bumi (RUU migas) dinilai dapat memperbaiki iklim investasi migas di Indonesia. Sebab UU Migas sekarang dinilai minim kepastian hukum dan tak menawarkan insentif yang menarik bagi investor.
Wakil Ketua Komis VII DPR RI, Eddy Soeparno, pembahasan revisi undang-undang migas baru akan dilaksanakan usai Komisi VII DPR RI menuntaskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT). Adapun RUU tersebut ditargetkan rampung pada kuartal III 2022.
"Kami berharap dalam dua mata sidang bisa selesai. Kuartal ketiga tahun ini. Nah segera setelah RUU EBT sudah diajukan dan diputuskan oleh paripurna sebagai RUU dari DPR, kita sudah bisa mulai juga proses untuk Revisi UU Migas," kata Eddy kepada Katadata.co.id, Senin (21/3).
Eddy menambahkan bahwa revisi UU Migas bukan bagian dari revisi UU prioritas. Akan tetapi karena revisi UU ini adalah amanat dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), proses revisi tidak perlu menunggu sampai ada keputusan tahap dua dari RUU EBT.
RUU EBT dinyatakan secara resmi sebagai rancangan undang-undang untuk disahkan oleh pemerintah usai adanya pembahasan antara pemerintah dan DPR. "Karena amanat MK, maka harus dijalankan. Tapi kita tidak perlu menunggu itu, ketika sudah dicapai keputusan tahap 1 (RUU EBT) kita bisa memulai tahap revisi UU Migas," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (ASPERMIGAS), Moshe Rizal, mengatakan harus ada perubahan iklim investasi dengan mempermudah prosesnya. Salah satunya dengan menyelesaikan revisi UU Migas.
"Aturan yang masih berlaku sampai sekarang itu menghilangkan insentif yang indutri migas terima seperti assume and discharge. Walau satu persatu dikembalikan tapi tidak menyeluruh," kata Moshe Senin (21/3).
Sebagai informasi, assume and discharge adalah pembebasan pajak tidak langsung atas jatah bagi hasil migas kontraktor. Moshe menyebut, lapangan migas yang dimiliki oleh Indonesia mayoritas berada di laut lepas dan wilayah Indonesia bagian timur.
Hal itu berdampak pada mahalnya lokasi ekplorasi yang membutuhkan teknologi, pengalaman dan kapital yang besar. "Di satu sisi, insentifnya berkurang, sedangkan di luar sana pasar investasi persaingannya meningkat," ujarnya.
Dia berharap, pemerintah bisa lebih fleksibel dalam hal meningkatkan insentif dan kontrak yang lebih menarik kepada investor. Hal ini bisa dilakukan dengan lebih dulu melakukan survei pasar kepada negara-negara yang juga kaya sumber daya migas.
"Pemerintah introspeksi diri ya perihal apa yang mereka tawarkan kepada investor. Terkait berapa cadangan migasnya, bagaimana strateginya. Dari situ bisa dilihat apa yang musti kita ubah," ujarnya.
Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, revisi UU migas perlu diselesaikan karena sejumlah pelaku usaha mengeluhkan kepastian investasi migas di Indonesia semakin memburuk.
Dari sisi daya Tarik investasi, Ujar Fabby, nilai return dari nilai investasi migas di Indonesia lebih rendah dari nilai investasi di negara lain seperti negara-negara Afrika, dan negeri jiran Malaysia.
"Kemudian ketidakkonsistenan aturan itu, diganti rezim fiskalnya sangat berdampak dan Pemerintah bisa membatalkan proyek-proyek yang sudah dipersiapkan dalam jangka waktu panjang, Misalnya kasus Blok Masela," ucap Fabby kepada Katadata.co.id.
Menurut Fabby, investasi migas berisiko tinggi. Jika eksplorasi dilakukan saat ini, produksi baru bisa dilaksanakan pada 10-20 tahun ke depan.
Terlebih biaya biaya eksplorasi juga tinggi karena wilayah yang masih bisa dieksplorasi berada di wiayah lepas pantai yang mengharuskan pengeboran dengan teknologi khusus sedalam 3.000-5000 meter.
"Pelaksanaan kontrak kerja di dalam UU Migas seperti assume and discharge di dalam hal perpajakan kontrak kerja sama itu tidak diatur. Penyelesaian revisi UU Migas ini diharap dapat menjamin kepastian kontrak dan menjamin kepastian hukum dalam aspek regulasi, rezim fiskal. Jika tidak, investor gak mau ambil resiko," ujarnya.