Tekan Subsidi BBM, Banggar Minta Pemerintah Fokus pada Elektrifikasi
Badan Anggaran (Banggar) DPR mengajak pemerintah agar menyegerakan program konversi energi listrik sebagai alternatif untuk menekan subsidi dan kompensasi energi, khususnya pada subsidi BBM.
Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, menegaskan pemerintah untuk segera mengurangi produksi dan konsumsi BBM menjadi konsumsi energi berbasis listrik. Apabila pemerintah masih bergantung pada minyak, anggaran negara akan terus terbebani oleh tingginya impor minyak untuk memenuhi konsumsi 1,5 juta barel per hari.
"Kemampuan produksi di dalam negeri cuma 630 ribu barel per hari, sementara konsumsinya mencapai 1,5 juta barel per hari. Dengan posisi seperti ini kita akan terus menghadapi hiruk-pikuk kenaikan kebijakan energi bila ada gejolak eksternal," kata Said kepada Katadata.co.id, Selasa (6/9).
Said memahani bahwa ketergatungan akan BBM tidak bisa dilepas secara serta-merta. Dia menyebutkan langkah yang paling mungkin pada jangka pendek yakni impor minyak dari produsen yang murah seperti minyak dari Rusia dan tingkatkan kemampuan kilang minyak nasional.
"Tapi ini semua hanya langkah sementara, tidak mengurai persoalan mendasarnya. Yang sangat mendasar adalah pemerintah perlu menuju energi listrik. Anggaran relokasi dari subsidi BBM yang sangat besar bisa digunakan untuk mendorong percepatan arah energi nasional ke listrik," sambung Said.
Kementerian Keuangan memperkirakan kebutuhan anggaran subsidi meningkat dari alokasi Rp 502 triliun menjadi Rp 649 triliun pada tahun ini. Kenaikan harga BBM membuat pemerintah menghemat subsidi Rp 49 triliun dari proyeksi Rp 698 triliun jika pemerintah tak menaikkan harga.
Sekalipun harga dinaikkan, APBN tetap jebol. Pagu anggaran subsidi dan kompensasi energi tahun ini disiapkan Rp 502,4 triliun. Pemerintah sebelumnya memperkirakan butuh tambahan anggaran mencapai Rp 195,6 triliun jika harga BBM tak naik, sehingga total subsidi dapat membengkak menjadi Rp 698 triliun.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut estimasikan subsidi energi sekitar Rp 650 triliun setelah pemerintah menaikan harga jual Solar dan Pertalite. Hal tersebut sudah termasuk hitungan menggunakan tambahan volume kuota BBM bersubsidi yang baru.
"Kami lihat kalau nanti tambahan kuota berapa lagi yang perlu dikomunikasikan dengan DPR, kalau tidak bisa dialokasikan tahun ini, akan dibayarkan 2023," kata Suahasil Nazara dalam Energy Corner CNBC pada Senin (5/9).
Suahasil menjelaskan, kuota BBM jenis Pertalite saat ini resmi ditambah jadi 29 juta kilo liter (KL) dari posisi awal tahun di angka 23,05 juta kl. Sementara itu, kuota solar ditambah menjadi 17,4 juta KL dari kuota yang disiapkan 15 juta kl.
"Untuk mengantisipasi gerak aktivitas masyarakat, dan tentu ini kami komunikasikan ke DPR. Penambahan kuota ini di dalam diskusi kami saja, internal. Pertalite dan Solar akan tetap ada dan tersedia," ujar Suahasil.
Banggar menjelaskan, praktik penambahan anggaran diatur dalam Undang Undang APBN 2022 yang masih terikat dengan ketentuan Undang Undang No 2 tahun 2020 tentang persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 tahun 2020 menjadi Undang-Undang.
Perppu No 1 tahun 2020 lahir atas kebutuhan hukum pemerintah untuk merespon dampak pandemi pandemi Covid-19, yakni dibutuhkan fleksibilitas fiskal untuk merespon berbagai situasi yang akan terjadi, terutama dari sisi pandemi dan keuangan negara.
Misalnya melakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, melakukan tindakan yang belum cukup atau belum tersedia dalam belanja APBN, menggunakan dana saldo anggaran lebih, bahkan menggunakan dana abadi pendidikan dan dana badan layanan umum.
Sesuai ketentuan, Perppu No 1 tahun 2020 berlaku hingga tiga tahun anggaran, yakni mulai APBN 2020-2022, sehingga APBN 2022 masih terikat dengan ketentuan ini, dimana pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing dan relokasi anggaran. Pada tahun depan hal itu tidak bisa dilakukan lagi oleh pemerintah.
Walau begitu, Said mengatakan sebaiknya pemerintah tidak menambah kuota BBM bersubsidi. Dia menilai penambahan kuota BBM bersubsidi berpotensi menggerus alokasi subsidi energi secara tidak terukur.
"Fokus saya pada reformasi untuk fokus terhadap target penerima sasaran subsidi BBM. Sebab sepanjang gap harga antara Pertalite dan solar di satu pihak dengan Pertamax dan Pertamax Dex sangat senjang, maka potensial komoditas yang lebih murah akan lebih diminati konsumen, ini membuka pola konsumsi yang lebih besar lagi," ujarnya.