Persiapan Setop Ekspor Timah, RI Butuh Smelter hingga Kawasan Industri
Kementerian ESDM bersama pelaku usaha tengah melakukan persiapan untuk mendukung kebijakan larangan ekspor timah yang rencananya akan berjalan pada pertengahan tahun ini.
Persiapan tersebut di antaranya percepatan pembangunan smelter, substitusi produk impor hingga mengajukan proposal pembangunan kawasan ekonomi khusus berbasis timah.
Langkah ini dilakukan menyusul minimnya serapan timah batangan di industri hilir domestik yang tertahan di angka maksimum 5% dari produksi 80 ribu ton per tahun.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin, mengatakan bahwa rangkaian usulan di atas merupakah hasil diskusi kelompok kerja Kementerian ESDM dan pelaku usaha yang berharap agar hilirisasi dilakukan secara bertahap.
Menurut Ridwan, industri manufaktur domestik hanya menyerap maksimal 5% dengan rata-rata 3% dari total produksi logam timah batangan di dalam negeri.
"Ada pernyataan akan melarang ekspor timah balok, kami bersama Komisi VII DPR berdiskusi untuk melakukan langkah-langkah antisipasi untuk pelarangan ekspor logam timah," kata Ridwan saat ditemui usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII di Gedung Nusantara I, Rabu (1/2).
Ridwan mengatakan pemerintah perlu membangun sejumlah fasilitas pemurnian mineral atau smelter lanjutan untuk menunjang program penyetopan ekspor timah batangan.
Akselerasi percepatan smelter dinilai penting untuk menjamin serapan timah batangan di industri domestik. "Kami perlu insetif untuk menarik invatasi smelter di Indonesia," ujar Ridwan.
Pabrik pengolahan yang dimaksud berupa smelter tin solder, tin chemical, dan tin plate yang rata-rata membutuhkan waktu dua tahun untuk proses pembangunan dengan nilai mencapai Rp 20 miliar hingga Rp 2,3 triliun.
"Sudah diidentifikasi melalui tin solder, tin chemical itu harus sudah di bangun dulu. Sambil mengantisipasi dilarang ekspor, kami menyiapkan industri di hilirnya dulu," kata Ridwan.
Sembari menunggu pembangunan smelter selesai, kelompok kerja mengusulkan adanya substitusi impor untuk produk-produk lanjutan timah yang belum bisa diproduksi di dalam negeri. Di sisi lain, meningkatkan kapasitas produksi olahan timah yang sudah ada seperti tin solder dan tin chemical.
Ridwan menambahkan, program larangan ekspor timah batangan perlu dibarengi dengan kebijakan pengurangan impor barang jadi supaya hasil produk domestik bisa diserap di dalam negeri secara optimal.
Adapun hasil usulan kelompok kerja sudah disampaikan kepada Menteri ESDM. "Kami juga mengususlkan impor industri khusus berbasis timah yang lebih terpadu supaya operasinya lebih efisien," ujar Ridwan.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo berencana untuk melarang ekspor tembaga pada pertengahan tahun ini. Langkah tersebut merupakan bagian dari rencana industrialisasi Presiden Jokowi pada sisa masa pemerintahannya.
"Soal kebijakan larangan ekspor nikel kalah di WTO, kita tetap terus. Justru kita stop bauksit di Desember tahun lalu, dan pertengahan tahun mungkin tambah lagi setop ekspor tembaga," kata Presiden Jokowi di ajang HUT PDIP ke-50, Selasa (10/1).