RI Butuh BBM, Pakar Migas Kritik Langkah Pertamina Garap Blok Masela
Praktisi migas Hadi Ismoyo mengkritisi langkah pemerintah dalam mendorong Pertamina untuk menggarap Blok Masela yang kandungnya adalah gas. Pasalnya Indonesia lebih membutuhkan minyak lantaran asumsi BBM yang masih akan menjadi salah satu sumber energi primer 10-20 tahun ke depan.
Oleh karena itu pemerintah diminta untuk lebih fokus dalam upaya memenuhi target produksi minyak 1 juta barel pada 2030 dengan memperbesar porsi investasi negara pada aspek infrastruktur produksi minyak eksisting.
Hadi Ismoyo, mendorong pemerintah untuk memperbanyak investasi pada lapangan minyak yang menjadi tulang punggung produksi nasional. Satu diantaranya adalah Blok Rokan di Riau.
"Lebih baik uang itu dipakai untuk invetasi di Rokan sebanyak-banyaknya yang merupakan salah satu tulang punggung nasional untuk mencapai 1 juta barel. Ini yang harus dikoreksi," kata Hadi," kata Hadi dalam Energy Corner CNBC pada Senin (13/2).
Pria yang menjabat sebagai Presiden Direktur PT Petrogas Jatim Utama Cendana itu menambahkan, pemerintah mestinya mengutamakan alokasi investasi ke sektor eksplorasi dan produksi di sektor hulu minyak alih-alih membujuk PT Pertamina untuk masuk ke Proyek Abadi LNG Blok Masela.
"Sampai saat ini pemerintah malah ngiming-ngimingi Pertamina untuk masuk ke Masela, ini kan gak fokus jadinya. Masela itu gas, sedangkan ini mau cari minyak," ujar Hadi.
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas), Moshe Rizal, menyampaikan bahwa sektor pengembangan migas domestik harus diberikan perlakukan khusus untuk mencapai target 1 juta barel minyak dan 12 MMSCFD gas pada 2030.
Satu diantaranya yakni segera mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) Migas. Menurut Moshe, sektor migas ke depan akan menjadi tulang punggung bagi sektor industri dan konsumen pada umumnya.
"Revisi UU migas ini memang sangat krusial, yang saya tekankan dari revisi UU migas adalah berikan kembali lex specialis kepada migas," kata Moshe dalam forum yang sama.
Moshe beranggapan, iklim investasi sektor migas nasional kian sulit akibat pertumbuhan tren energi baru terbarukan dan maraknya peristiwa tumpang tindih lahan.
Dia mencontohkan, eksplotasi Blok Warim di Papua masih terkendala oleh izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena lokasinya yang berada di Taman Nasional Lorentz. Fenomena tumpang tindih lahan juga terjadi pada lokasi perkebunan dan pertambangan.
"Siapa yang akan didahulukan? karena perusahaan perkebunan dan pertambangan juga sama-sama memperjuangkan itu. Kami hanya membutuhkan area yang tidak besar, sedangkan perkebunan cukup luas, pertambangan juga seperti itu," ujar Moshe.
Tumpang tindih lahan di industri migas kerap terjadi lantaran sifat lahan yang memiliki banyak potensi pengembangan. Di bagian paling atas, tanah punya kemampuan untuk ditanami tumbuh-tumbuhan. Sedangkan di area dalam, terdapat potensi sumber daya mineral, batu bara, hingga minyak dan gas bumi.
"Siapa yang lebih penting dibandingkan dengan yang lain untuk kebutuhan nasional? itu yang kami bahas di revisi UU Migas, itu ditegaskan juga," kata Moshe.