Menanti Kejelasan Pembatasan Pertalite di Tengah Gejolak Harga Minyak
Pemerintah kembali membahas rencana pembatasan BBM bersubsidi Pertalite dan solar seiring gejolak harga minyak belakangan ini. Namun setelah lebih dari setahun sejak rencana ini dihembuskan, revisi regulasi yang menjadi dasar hukum pembatasan belum juga rampung dibahas.
Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan belum ada perkembangan terkait rencana pembatasan BBM bersubsidi hingga saat ini. “Belum, masih menunggu perpres (Peraturan Presiden) direvisi,” kata Saleh saat dihubungi Katadata.co.id pada Rabu (1/11).
Oleh sebab itu dirinya menyebut pengaturan perihal BBM subsidi ini masih menggunakan aturan yang berlaku saat ini yakni berdasarkan jenis kendaraan. Dimana kendaraan pribadi (roda empat) maksimal membeli 60 liter per hari.
Kemudian untuk angkutan umum orang atau barang (roda empat) maksimal 80 liter per hari, dan untuk angkutan umum orang atau barang (roda enam) maksimal 200 liter per hari. “Dengan mengguna scan barcode, bisa lebih tepat sasaran,” ujarnya.
Untuk mengatur pembatasan Pertalite, pemerintah harus revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM). Aturan ini yang menjadi regulasi acuan penyaluran BBM bersubsidi, Pertalite dan Solar, lebih tepat sasaran.
Dalam revisi tersebut, pemerintah akan mengatur detail kriteria kendaraan yang dapat mengisi Pertalite. Pemerintah juga mengkaji untuk membuat perbedaan harga Pertalite sesuai dengan jenis kendaraannya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan revisi Perpres ini masih berjalan. Dia mengungkapkan Kementerian ESDM siap melaksanakan revisi tersebut tahun ini, tapi masih menunggu pertemuan dengan pemangku kebijakan lain.
“Kami sudah siap hanya belum bertemu waktunya. Belum bertemu bertiga, Kementerian Keuangan, BUMN, dan Kementerian ESDM,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif saat ditemui Katadata.co.id di Kementerian ESDM pada Jumat (20/10).
Dia menjelaskan, skema revisi Perpres ini sudah memetakan pembeli pertalite berdasarkan jenis kendaraannya. “Itu kan sebetulnya sudah disiapkan dulu mana saja kendaraan yang memang berhak, untuk jenis kendaraan seperti apa yang berhak,” jelasnya.
Lebih lanjut, dia menyebut pembeli seharusnya memilih BBM yang sesuai agar dapat mengurangi angka emisi. Pengelompokan kendaraan ini bertujuan untuk menghindari konsumen BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran.
“Masa yang kelas 3.500-4.000 cc masa pakai, kan merusak mesinnya sendiri. Kalau bisa beli cc besar berarti uangnya banyak kan,” ujarnya.
Pengelompokan data pengguna termasuk jenis kendaraan ini nantinya akan disimpan oleh Pertamina. “Motor mobil jenis apa, itu masuk di dalam daftar sistem IT pertamina,” terangnya.
Seperti diketahui, rencana pembatasan BBM bersubsidi ini pertama kali diutarakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Mei 2022. Menkeu meminta Pertamina untuk mengendalikan volume penyaluran BBM subsidi.
Ini untuk memastikan tambahan anggaran sebesar Rp 350 triliun yang telah disetujui DPR untuk membayarkan subsidi dan kompensasi energi tahun ini mencukupi seiring meningkatnya konsumsi di tengah lonjakan harga minyak mentah yang terjadi saat itu.
Sri Mulyani mengatakan, permintaan terhadap barang-barang yang disubsidi mulai melonjak seiring pemulihan aktivitas ekonomi. Kenaikan permintaan ini, menurut dia, perlu diwaspadai.
"Kami akan meminta Pertamina untuk tetap mengendalikan jumlah bahan bakar energi yang disubsidi. Kita tidak bisa membiarkan volumenya menjadi tidak terbatas," ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTA, Senin (23/5).
Volume penyaluran subsidi BBM untuk solar dan minyak tanah hingga April 2022 naik dari 3,6 juta kilo liter tahun lalu menjadi 4,1 juta kilo liter. LPG 3 Kg yang disubsidi juga naik 100 ribu metrik ton dibandingkan tahun lalu menjadi 1,9 juta metrik ton.
Kenaikan pada volume penyaluran ditambah dengan kenaikan harga komoditas telah membuat subsidi BBM dan LPG yang dikeluarkan pemerintah pada 2022 membengkak 50% dibandingkan 2021 menjadi Rp 34,8 triliun. Nilai ini sudah mencapai 44,8% dari pagu dalam APBN.