Marak Tambang Nikel Luar Negeri Tutup, Marves: Mereka Tidak Kompetitif
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mengaku bingung melihat fenomena penutupan beberapa tambang nikel dunia akhir-akhir ini karena turunnya harga nikel.
Terlebih, beberapa pihak luar negeri menuduh Indonesia sebagai penyebab turunnya harga akibat pasokan nikel Indonesia yang mendominasi di pasar nikel global.
Menurut Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto harga rata-rata nikel dalam 10 tahun berada di angka US$ 15.000 per metrik ton kering (dmt).
“Saya terus terang agak bingung kenapa Australia, New Caledonia, Prancis, protes terhadap harga nikel ini. Kalau kita lihat rata-rata historis harga nikel baik menggunakan nominal atau adjusted inflation, harga nikel saat ini masih US$ 17.000 per dmt di atas rata-rata historis 10 tahun terakhir,” ujarnya dalam CNBC Economic Outlook 2024, dikutip Jumat (1/3).
Menurut Septian, fenomena penutupan tambang nikel ini dapat dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, kebanyakan proyek nikel di Australia baru dimulai ketika harga nikel dunia berada di angka US$ 20.000 per dmt. “Mereka memang menjalankan proyek itu berharap harga nikel akan terus tinggi,” ujarnya.
Kedua, ada pengaruh dari segi efisiensi. “Seperti di New Caledonia itu saya kira memang proyeknya sudah banyak yang tidak efisien dari segi smelter dan investasinya. Jadi memang akan sulit untuk berkompetisi kedepannya. Itu harus dilihat secara komprehensif,” ucapnya.
Kendati demikian, Septian mengatakan meskipun harga nikel saat ini tidak setinggi dua tahun terakhir namun kinerjanya masih cukup baik. “Harga nikel sekarang US$ 17.000 per dmt, profitabilitas dari penambang dan smelter masih cukup baik,” ujarnya.
Septian mengatakan meskipun tambang-tambang nikel dunia beberapa mengalami kesulitan namun dengan level harga saat ini Indonesia masih cukup bertahan.
“Memang yang diluar sih suffer, yang gak kompetitif akan suffer, tapi itu hukum ekonomi. Jadi mereka tidak bisa menyalahkan Indonesia. Saya kira itu berpikir terlalu sempit, hanya melihat dari aspek tambang aja,” kata dia.
Sebelumnya Menteri ESDM Arifin Tasrif mengeluarkan pernyataan serupa. Menurutnya Indonesia belum tentu menjadi penyebab tutupnya tambang-tambang nikel di negara lain.
“Di Australia sudah ada yang tutup. Tapi kami lihat dulu, apa betul kita penyebabnya? Kan belum tentu,” ujarnya saat ditemui di Gedung Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM, Jakarta, pada Jumat (16/2).
Arifin menyampaikan terdapat banyak faktor yang menyebabkan tutupnya tambang-tambang nikel dunia, khususnya di Australia. Salah satu menurut Arifin adalah terkait biaya. “Banyak faktornya, cost dia mahal,” ujarnya.
Sebelumnya, Analis Macquarie, bank investasi yang berbasis di Sydney, Australia, mengatakan bahwa tekanan terhadap harga nikel ini terjadi karena pasokan dari Indonesia yang berbiaya rendah membanjiri pasar nikel global.
Hal ini memaksa para pesaingnya untuk menutup tambang-tambang yang tidak menguntungkan dan menimbulkan kepanikan di Washington dan Paris bahwa pergolakan ini akan memberikan kontrol yang lebih besar kepada Cina atas sumber daya strategis tersebut.
“Tapi dari sini kami akan memberikan himbauan kepada industri supaya melihat tren ini. Jika tidak maka akan ikut terjeblos, maka harus hilirisasi lebih jauh,” kata dia.