ESDM: Pelemahan Rupiah Berpotensi Kerek Keuntungan Perusahaan Tambang
Kementerian ESDM menilai tren pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) membawa dua dampak berbeda bagi industri pertambangan dalam negeri.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif menyebutkan bahwa salah satu dampak dari pelemahan rupiah dapat menambah keuntungan bagi perusahaan tambang dalam negeri dari aktivitas ekspor.
“Pelemahan rupiah tentu akan menambah pengeluaran bagi pembelian alat atau barang dari luar negeri. Di sisi lain, ini dapat menambah keuntungan bagi perusahaan yang mengekspor dalam dolar dan memperoleh untung dalam rupiah,” ujarnya saat ditemui di Kementerian ESDM, dikutip Senin (24/6).
Irwandy mengatakan dampak ini tidak dirasakan oleh semua perusahaan tambang. Menurut dia, PT Bukit Asam (PTBA) tidak akan merasakan dampak dari sisi peningkatan keuntungan karena sebagian besar penjualan batu bara dilakukan di dalam negeri
“Sehingga ini tergantung dari perusahaan masing-masing. Tidak bisa kita generalisasi,” ujarnya. “Pelemahan rupiah merupakan hal biasa dan bisa disebut sebagai siklus. Terlebih dunia saat ini tengah menunggu keputusan The Federal Reserve atau The FED terkait suku bunga”.
Untuk diketahui, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah. Sepanjang 2024, mengutip data kurs tengah Bank Indonesia, rupiah melemah dari 15.516 per dolar pada awal Januari menjadi 16.502 pada Jumat (21/6).
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam laporannya kepada Presiden Joko Widodo terkait perkembangan nilai tukar rupiah, ia menyebut faktor global dan domestik menjadi penyebab turunnya nilai tukar rupiah.
Di sisi lain ia menyampaikan keyakinan bahwa secara fundamental nilai rupiah akan menguat. Menurut Perry terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi nilai tukar rupiah.
Ia mengatakan faktor global pertama adalah suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve atau The Fed yang masih belum jelas akan turun berapa kali tahun ini. Perry memperkirakan hanya akan ada penurunan sekali, yakni pada akhir tahun.
Di sisi lain, suku bunga obligasi pemerintah Amerika Serikat naik dari 4,5% menjadi 5% karena membiayai utang di AS. “Demikian juga bank sentral Eropa sudah mulai menurunkan suku bunga. Nah, ini yang menyebabkan kenapa sentimen-sentimen global ini memberi dampak kepada nilai tukar,” ujar Perry, Kamis (20/6).
Sementara itu, sentimen dalam negeri sebenarnya sudah kerap terjadi tiap tahun. Perry mengatakan ada kenaikan permintaan dari perusahaan dalam triwulan kedua tahun ini. Hal ini biasa karena biasanya korporasi melakukan repatriasi dividen di rentang waktu ini.
“Dan juga yang terakhir ini tadi disampaikan Bu Menteri (Sri Mulyani) masalah persepsi survivabilitas rupiah ke depan yang membuat sentimen menekan nilai tukar rupiah,” kata Perry.