Orang RI Makin Kaya, Produk Impor Kian Membanjir
Tak pelak kesenjangan antara permintaan dan penawaran barang konsumsi pun terjadi. Karena kemampuan industri manufaktur dalam negeri tidak bisa mencukupi, barang-barang impor pun membanjiri Indonesia. Bahkan, impor untuk produk bertehnologi menengah dan tinggi terus membesar sejak Indonesia memasuki middle income country pada 2004, yakni pendapatan per kapita di atas US$ 1.000 per tahun.
Data BPS menunjukkan nilai impor barang konsumsi melonjak rata-rata 17 persen per tahun sejak 2004. Pada akhir 2012, nilai impor produk konsumsi sudah mencapai US$ 13,4 miliar atau hampir sekitar Rp 150 triliun. Ini jauh melesat dibandingkan pada 2004 yang hanya mencapai US$ 3,8 miliar.
Barang konsumsi yang dimaksud adalah makanan pokok dan olahan, bahan bakar dan pelumas, angkutan, barang tahan lama hingga tidak tahan lama. Yang termasuk dalam barang impor yang dibutuhkan kelompok kelas menengah, terkait dengan perubahan gaya hidup, seperti elektronik, komputer, ponsel pintar, peralatan rumah tangga, mobil CBU, parfum, baju, tas, makanan pokok dan olahan dan lainnya.
Persoalannya, lonjakan impor tersebut memicu defisit neraca perdagangan kian membesar. Pembengkakan defisit neraca perdagangan tersebut telah menganggu kestabilan ekonomi makro seiring dengan pelemahan nilai tukar rupiah.
Untuk mengatasi persoalan defisit tersebut, pemerintah akan menaikkan tarif pajak penghasilan barang impor dari semula 2,5 persen menjadi 7,5 persen. Tarif pajak ini akan dikenakan terhadap dua jenis produk, yakni barang konsumsi akhir atau bukan produk antara untuk produksi berikutnya. Kedua, barang yang tidak menimbulkan inflasi. Rencananya, kebijakan ini akan diterapkan pada akhir November 2013.