Bertemu Dubes Uni Eropa, Menko Airlangga Singgung Diskriminasi Sawit
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menerima kunjungan Duta Besar Uni Eropa (UE) untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Vincent Piket. Dalam pertemuan tersebut, Airlangga kembali menyinggung diskriminasi sawit yang hingga kini masih terjadi di Benua Biru.
Data menunjukkan, komoditas ekspor Uni Eropa ke Indonesia mayoritas terdiri dari produk alkohol dan turunan susu. Sedangkan ekspor Indonesia ke kawasan tersebut sebagian besar adalah minyak sawit, stainless steel, dan nikel.
Dengan komoditas ekspor utama Indonesia ke UE, minyak sawit terus menghadapi banyak tantangan di pasar Eropa. Airlangga menyebutm industri sawit terus menghadapi diskriminasi dan menjadi target kampanye negatif, mulai dari segi lingkungan, sosial-ekonomi, hak asasi manusia dan kesehatan.
(Baca: RI Bersiap Ajukan Sengketa Sawit ke Badan Penyelesaian Sengketa WTO)
“Kami meminta dukungan untuk menghadapi kampanye negatif tersebut, dan memperbaiki komunikasi antara Indonesia dan Uni Eropa” kata Menko Airlangga seperti dikutip dari keterangan pers, Rabu (1/6).
Salah satu temuan diskriminasi terhadap minyak kelapa sawit Indonesia diketahui melalui kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II/Delegated Regulation UE dan aturan turunannya. Belum lagi pengenaan bea masuk anti dumping bagi produk minyak kelapa sawitoleh UE.
Untuk menangkal diskriminasi produk sawit, pemerintah telah merilis Keputusan Presiden (Keppres) untuk meningkatkan standar pengelolaan industri kelapa sawit, melalui sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) serta National Action Plan of Sustainable Palm Oil.
Ia mengatakan, rencana aksi tersebut sudah dibicarakan oleh beberapa stakeholder terkait dalam sesi diskusi yang transparan dan berimbang.
Menurutnya, ISPO sudah diakui dan dipromosikan oleh Komite Olimpiade Tokyo 2020, bersama dengan The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan The Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) Certification.
“Hal ini menunjukkan bahwa ISPO sudah diakui secara internasional, khususnya negara konsumen,” ujar dia.
Selain kerap bersengketa dalam perdagangan sawit, Uni Eropa juga telah mengugat kebijakan pelarangan ekspor nikel Indonesia melalui forum Dispute Settlement World Trade Organization (WTO) (DS 592). Proses konsultasi dengan UE telah dilakukan di WTO, Jenewa Swiss pada 30 Januari 2020 yang dipimpin Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga.
(Baca: Gugatan Sawit di WTO Tak Ganggu Perundingan Dagang RI-Uni Eropa)
Meski demikian, Indonesia perlu bekerja sama dengan negara terdampak Covid-19. Uni Eropa Eropa merupakan salah satu partner dagang dan investasi yang utama bagi Indonesia.
Oleh karena itu, selain membahas sawit dan nikel, kedua belah pihak membahas ekspor dan impor, perkembangan kerja sama dagang Indonesia – UE Comprehensive Economic Partnership Agreement (IU-CEPA), serta rencana keikutsertaan Indonesia sebagai Partner Country pada acara Hannover Messe 2020.
“Meskipun sedang ada tantangan dalam hubungan ekonomi antara Indonesia dan UE, tapi kami percaya masih ada potensi yang hebat,” kata Airlangga.
Ia juga mendukung kolaborasi antara Indonesia dan UE untuk memproduksi vaksin Covid-19 melalui skema co-production dan sharing biaya. Terlebih lagi, Indonesia sedang menyiapkan insentif pajak super deduksi sampai 300% untuk perusahaan yang mengembangkan vaksin Covid-19.
Untuk mendorong perdagangan bilateral, masing-masing pihak harus mengeliminasi dan mengurangi perhitungan tarif dan non-tarif, khususnya produk makanan dan peralatan medis. Uni Eropa dan beberapa negara anggota juga telah memberikan bantuan kepada Indonesia untuk penanganan pandemi Covid-19, antara lain alat pelindung diri (APD) serta dana hibah.
(Baca: Terkena Bea Masuk Antisubsidi, Ekspor Biodiesel ke Eropa Turun Tajam)
Selain itu, keduanya harus menguatkan kerja sama ekonomi digital dalam tatanan kenormalan baru melalui e-commerce, e-health dan e-learning.
Indonesia dan Uni Eropa juga tengah memfinalisasi rangkaian perundingan Indonesia-UE CEPA yang terakhir diselenggarakan putaran ke-10 intersessional secara virtual pada 15-26 Juni 2020. I-UE CEPA nantinya akan memberi dampak positif bagi hubungan ekonomi, perdagangan dan investasi kedua pihak.
“Kami percaya penyelesaian perundingan Indonesia-UE CEPA dapat dilakukan tepat waktu sesuai jadwal,” katanya.