Indonesia dan Malaysia Bersatu Respons Aturan Deforestasi UE
Pemerintah Indonesia bersiap memulai kampanye guna merespons aturan anti-deforestasi Uni Eropa yang dinilai bakal menghambat arus ekspor komoditas Indonesia, terutama kelapa sawit.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dijadwalkan akan terbang ke Brussel, Belgia pada 30-31 Mei mendatang untuk membahas persoalan ini. Airlangga akan bergabung dengan Pemerintah Malaysia yang diwakili oleh Menteri Perkebunan dan Komoditas Dato’ Sri Haji Fadillah Bin Haji Yusof untuk menyuarakan kekhawatiran kedua negara terkait aturan anti-deforestasi.
Sebelum menjalankan misi gabungan ini, Menko Airlangga menemui Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Timor Leste Vincent Piket pada Rabu (24/5). Dalam pertemuan ini, ia menyuarakan soal kekhawatiran Indonesia dan Malaysia bahwa aturan anti-deforestasi akan berdampak negatif terhadap petani kecil kelapa sawit dan komoditas lainnya.
“Kami ingin menekankan bahwa EUDR membebani petani kecil, karena mereka harus mematuhi prosedur administratif sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan regulasi tersebut,” ujarnya dalam keterangan resmi.
Misi gabungan Indonesia-Malaysia ke Markas UE ini merupakan tindak lanjut pertemuan bilateral kedua menteri pada bulan Februari 2023 lalu. Salah satu agenda utamanya adalah untuk menyuarakan kekhawatiran kedua negara terhadap kebijakan anti-deforestasi Uni Eropa. Kebijakan ini dinilai diskriminatif dan akan berdampak negatif pada akses pasar sejumlah komoditas, terutama kelapa sawit ke Uni Eropa.
Dalam misi tersebut juga akan diidentifikasi langkah-langkah yang dapat ditempuh agar ketentuan tersebut tidak membebani para petani. Lebih lanjut, Menko Airlangga menyampaikan bahwa peraturan ini dapat mengecualikan peran penting petani kecil dalam rantai pasokan global dan gagal untuk mengakui signifikansi dan hak mereka.
Dalam kesempatan ini juga dimanfaatkan untuk membahas state of play Perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dan Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen juga sudah membahasnya saat pertemuan bilateral di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 di Hiroshima pada 21 Mei 2023. Perjanjian dagang ini diharapkan dapat selesai pada akhir tahun ini atau paling lambat di awal tahun 2024.
Saat berkunjung ke Katadata Februari silam, Dubes UE Vincent Piket menegaskan peraturan tentang deforestasi dan degradasi hutan ini berlaku untuk semua komoditas yang masuk ke wilayahnya tanpa terkecuali. Adapun komoditas yang jadi prioritas antara lain; kedelai, minyak sawit, kayu, daging sapi, kakao, karet, kopi, dan beberapa produk turunan seperti kulit, cokelat, dan furnitur.
“Tidak ada diskriminasi dalam regulasi ini. Aturan juga berlaku untuk komoditas yang diproduksi di wilayah Uni Eropa,” ujarnya.
Piket mengatakan komoditas yang diproduksi di wilayah Uni Eropa dan yang diimpor akan diwajibkan memenuhi sertifikasi uji tuntas anti deforestasi mulai 31 Desember 2020. Adapun jika deforestasi terjadi dalam waktu sebelumnya, maka tidak perlu melampirkan sertifikasi uji tuntas.