Industri Mamin Khawatir BBM Bioetanol Pertamina Makin Kerek Harga Gula
Pelaku industri makanan dan minuman khawatir program Bioetanol yang akan diluncurkan Pertamina akan mengerek harga gula menjadi semakin mahal. Pemerintah harus memiliki strategi komprehensif penggunaan sumber daya tebu baik untuk pangan maupun energi, sehingga tidak saling berebut.
Ketua Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia, Adhi S Lukman, mengatakan program Bioetanol akan membuat harga gula menjadi tinggi. Hal itu terjadi pada sejumlah negara yang telah melakukan program serupa seperti Brazil.
Penggunaan gula sebagai bahan bakar minyak akan membuat permintaan tebu naik. Sementara saat ini, kebutuhan gula konsumsi di Indonesia masih kurang.
"Otomatis di Indonesia, karena ketidakpastian stok, harga gula akan semakin mahal," ujarnya kepada Katadata.co.id, Selasa (20/6).
Dia mengatakan, pemerintah harus melakukan kajian secara komprehensif untuk penggunaan sumber daya tebu, baik untuk energi maupun pangan. Adhi menilai, program Bioetanol, bertentangan dengan target pemerintah untuk melakukan swasembada gula.
"Programnya seperti berjalan sendiri-sendiri, tidak ada koordinasi. Itulah sebabnya perlu Grand Strategy untuk kepentingan nasional," ujarnya.
Produksi Bioetanol untuk BBM Tak Ganggu Sektor Pangan
Sebelumnya, Kementerian ESDM memastikan produksi bioetanol untuk bahan campuran BBM jenis Pertamax tidak akan mengganggu pasokan untuk sektor pangan seperti produksi gula dan kecap.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana, mengatakan produksi bioetanol akan berasal dari etanol hasil olahan molasses yang merupakan produk sampingan dari produksi gula.
Saat memproduksi gula, cairan dari tebu akan diekstraksi dan dipanaskan hingga menjadi kristal. Molasses adalah cairan kental berwarna hitam dengan konsistensi seperti sirup yang tertinggal saat kristalisasi cairan tebu selesai.
"Kami tidak mengonversi bahan baku gula. Kami itu mengonversi molasses yang sekarang tidak dipakai untuk produksi gula. Molasses ini dipakai untuk sektor industri, termasuk bioetanol," kata Dadan di Kantor Kementerian ESDM pada Senin (19/6).
Dadan Kusdiana mengatakan bahwa saat ini terdapat sebelas badan usaha bahan bakar nabati atau BU BBN penghasil etanol yang tergabung dalam Asosiasi Penyalur Spiritus dan Ethanol Indonesia (Apsendo).
Gabungan sebelas BU BBN itu sanggup memproduksi etanol hingga potensi kapasitas 337.500 kiloliter (KL). Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dari selisih kemampuan produksi bioetanol domestik untuk bahan bakar kendaraan atau fuel grade dari tiga produsen berkapasitas
40.000 KL.
Produksi tersebut berasal dari dua pabrik di wilayah Jawa Timur, yakni 30.000 KL dari PT Energi Agro Nusantara (Enero) di Kabupaten Mojokerto dan 10.000 KL dari PT Molindo Raya Industrial di Kabupaten Malang.
Harga Gula Dunia Meroket
Data FAO menunjukkan, Indeks Harga Gula rata-rata mencapai 157,6 poin di bulan Mei 2023 naik 5,5 persen dari bulan sebelumnya. Kenaikan indeks harga gula tersebut terjadi dalam empat bulan berturut.
Indeks harga gula bahkan naik 37,3 poin atau 30,9% dibandingkan Mei 2022. Kondisi tersebut berdampak pada harga gula di Indnesia. Pasalnya, Indonesia masih ketergantungan impor gula.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea Cukai yang diolah Badan Pusat Statistik atau BPS, Indonesia mengimpor gula sebanyak 6 juta ton sepanjang 2022. Volume impor gula tersebut meningkat 9,6% dibanding 2021 (year-on-year/yoy), sekaligus menjadi rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Pada 2022 Indonesia paling banyak membeli gula dari Thailand, sedangkan impor dari negara-negara lainnya lebih kecil dengan rincian seperti terlihat pada grafik.