Kisah Sritex: Dulu Kebanggaan Jokowi, Kini Nyaris Bangkrut

Agustiyanti
27 Juni 2024, 17:59
sritex, perusahaan, tekstil
sritex.co.id
Seorang pekerja menjahit pakaian militer di pabrik Sritex.
Button AI Summarize

Tujuh tahun silam, PT Sri Rezeki Isman Tbk atau Sritex menuai pujian dari Presiden Joko Widodo. Ia bangga, Sritex sebagai merek Indonesia mampu merajai pasar dunia. Namun, kondisi pabrik tekstil ini kini nyaris bangkrut.

Sritex  didirikan oleh Luminto pada 196  sebagai perusahaan perdagangan di Pasar Klewer Solo dengan nama “UD Sri Redjeki”. Pada 1968, UD Sri Redjeki mendirikan sebuah pabrik yang memproduksi kain mentah dan pahan putihan di Joyosuran, Solo. Badan hukum UD Sri Redjeki kemudian diubah menjadi PT Sri Rejeki Isman pada 1978. 

Pada 1982, perusahaan ini mendirikan pabrik penenunan pertamanya. Perusahaan terus berkembang hingga dipercaya memproduksi seragam militer untuk pasukan militer NATO dan Jerman pada 1984. 

Sritex semakin memperluas usaha pabriknya pada 1992 sehingga dapat menampung empat lini produksi sekaligus, yakni pemintalan, penenunan, penyelesaian, dan garmen. Usaha perusahaan ini terus berkembang hingga melantai di Bursa Efek Indonesia pada 2013. 

Masa Jaya Sritex: Ekspor Seragam Militer untuk 30 Negara 

Perusahaan ini pun terus berekspansi hingga menuai pujian dari Jokowi yang hadir saat peresmiam perluasan pabrik mereka pada 2017  di Sukoharjo, Jawa Tengah. "Kita lihat Sritex, satu bukti brand Indonesia yang merajai pasar dunia," kata Jokowi.

Sritex saat itu baru saja berinvestasi Rp 2,6 triliun untuk pabrik. Mereka kala itu telah memproduksi seragam militer untuk setidaknya 30 negara di dunia. Dari jumlah itu, delapan dari negara-negara tersebut adalah negara di kawasan Eropa.

Sritex bahkan memproduksi seragam militer untuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO. Tidak hanya itu, Sritex juga merupakan satu-satunya pemegang lisensi di Asia yang berhak memproduksi seragam militer Jerman. 

Pada masa jayanya itu, Sritex pun berhasil membukukan laba bersih mencapai US$ 68 juta atau setara Rp 936 miliar. Setahun setelahnya atau pada 2018 Labanya bahkan melesat setahun setelahnya atau pada 2018 menjadi US$ 84,56 juta. Perusahaan pun masih mencetak kenaikan laba pada 2019 menjadi US$ 87 juta. 

Dihantam Badai Pandemi Covid-19

Kinerja Sritex melemah pada 2020 saat ekonomi ikut dihantam pandemi Covid-19 tetapi masih mampu mencetak laba US$ 85,32 juta. Neraca keuangan Sritex memburuk sejak 2021 dengan kerugian mencapai US$ 1,08 miliar atau setara dengan Rp 15,66 triliun rupiah (asumsi kurs Rp 14.500/US$). 

Kerugian Sritex semakin memburuk pada 2022 dan 2023, seperti terlihat dalam databoks di bawah ini. 

Iwan Kurniawan Lukminto Sritex yang saat itu menjadi direktur utama Sritex dalam laporan keuangan 2021 menyebut ada masalah pada gangguan rantai pasok dan penurunan permintaan global dan domestik. Menurunnya permintaan juga dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat. 

Penjualan Sritex pada 2021 tercatat turun 33,93% dibabdingkan 2021 menjadi  US$ 847,52 juta. Di sisi lain, beban pokok perusahaan justru naik dari US$ 1,05 miliar menjadi US$ 1,22 miliar.  Adapula beban penjualan, administrasi, rugi selisih kurs, hingga cadangan kerugian penurunan nilai piutang dan cadangan kerugian penghapusan persediaan yang membebani neraca Sritex. 

Rugi dalam jumlah besar pada 2021 pun membuat ekuitas Sritex minus US$ 398,81 juta atau setara Rp5,77 triliun. Perusahaan tekstil ini pun mengalami beberapa gugatan PKPU sejak 2021. Sahamnya juga disuspensi sejak Mei 2021 dan terancam delisting. 

PHK Massal dan Tumpukan Utang Sritex

Masa kejayaan Sritex sudah lama berakhir. Kerugian yang terjadi sejak 2021 membuat minus ekuitas Sritex semakin besar mencapai US$ 954,82 juta atau Rp 14,56 triliun pada 2023. Adapun total liabilitas perusahaan tekstil ini mencapai US$ 1,6 miliar atau setara Rp 24,4 triliun. 

Sritex juga menhadapi beberapa kali gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Adapun PKPU yang sebelumnya dihadapi Sritex yakni gugatan oleh PT Bank QNB Indonesia Tbk akhirnya ditolak. "Dengan demikian, perseroan tetap menjalankan kegiatan usahanya karena permohonan pailit tersebut telah ditolak," ujar Direktur Keuangan Sritex Welly Salam dalam keterangan tertulis ke Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (24/6). 

Meski masih terus berjalan, Sritex memangkas ribuan karyawan setiap tahun. Jumlah karyawan yang sempat mencapai 50 ribu orang pada 2018, kini hanya tersisa sekitar 10 ribu orang. Tahun ini saja, Sritex telah melakukan PHK terhadap 3.000 karyawannya. 

Direktur Keuangan Sritex Welly Salam mengatakan, perusahaan belum menutup gelombang PHK berikutnya. Kondisi ini dapat merangsek seluruh industri tekstil hingga akhir tahun "Keputusan PHK di industri tekstil akan bergantung pada kebijakan-kebijakan yang diterbitkan pemerintah dalam waktu dekat," kata Welly dalam paparan publik, Selasa (25/6).

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...