Produksi Bahan Baku Biodiesel Diproyeksi Capai 15,6 Juta Kiloliter di 2025


Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) memproyeksikan produksi bahan baku dalam program wajib biodiesel tahun ini mencapai 15,6 juta kiloliter. Angka tersebut naik 16,41% dibandingkan realisasi tahun lalu yang tercatat sebesar 13,4 juta kiloliter.
Sekretaris Jenderal Aprobi Ernest Gunawan menjelaskan bahwa peningkatan ini sejalan dengan kenaikan kadar campuran Fatty Acid Methyl Ester (FAME) ke dalam solar dari 35% (B35) pada tahun lalu menjadi 40% (B40) pada tahun ini.
Untuk mencapai target produksi FAME pada 2025, Aprobi memperkirakan kebutuhan minyak sawit mentah (CPO) mencapai 13,5 juta ton. Angka ini meningkat 18% atau sekitar 2 juta ton dari serapan industri biodiesel tahun lalu yang sebesar 11,44 juta ton.
"Dalam program B40 tahun ini, serapan FAME terbagi menjadi 7,55 juta kiloliter untuk program PSO (Public Service Obligation) dan 8 juta kiloliter untuk non-PSO. Namun, saya pastikan program B40 akan berjalan karena FAME tetap akan dicampurkan oleh PT Pertamina," ujar Ernest dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (6/3).
Meski demikian, Ernest menilai industri biodiesel nasional belum siap untuk meningkatkan campuran menjadi B50 pada tahun depan. Pasalnya, peningkatan tersebut akan mengharuskan pabrikan menggunakan seluruh kapasitas produksi yang ada.
Ia memperkirakan kebutuhan CPO untuk produksi FAME dalam program B50 bisa mencapai 18 juta ton atau setara 20 juta kiloliter. Sementara itu, kapasitas terpasang industri biodiesel nasional saat ini baru mampu menyerap 19,56 juta ton CPO.
"Kami membutuhkan tambahan kapasitas terpasang sekitar 4 juta kiloliter agar industri dapat menjalankan program B50. Utilitas produksi kami maksimal hanya 80%-85% karena kami tetap harus memperhatikan perawatan berkala. Jadi, pabrik biodiesel tidak bisa berjalan 100%," katanya.
Tahun ini, industri biodiesel akan kedatangan pemain baru dengan tambahan kapasitas terpasang sebesar 1,5 juta kiloliter. Namun, menurut Ernest, industri masih membutuhkan investasi tambahan setara 2,5 juta kiloliter agar program B50 dapat dijalankan secara optimal.
Dampak terhadap Minyak Goreng dan Ekspor CPO
Ernest menilai peningkatan program biodiesel menjadi B50 diperkirakan akan mengurangi pasokan CPO untuk industri lain, terutama industri oleokimia dan oleopangan.
Industri oleokimia mencakup produk kebersihan pribadi seperti sabun dan bahan baku kosmetik, sementara industri oleopangan meliputi minyak goreng, margarin, dan shortening.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono memproyeksikan bahwa program B50 dapat mengurangi volume ekspor CPO sekitar 6 juta ton pada tahun depan.
Sebelumnya, kebijakan peningkatan ke B35 telah memangkas ekspor sebesar 2,67 juta ton atau 8,31%, menjadi 29,53 juta ton. Dengan penerapan B40, ekspor CPO diperkirakan kembali berkurang 2 juta ton menjadi 27 juta ton tahun ini.
Jika program B50 diterapkan, ekspor CPO kemungkinan hanya tersisa 21 juta ton pada tahun depan. Langkah ini bisa berdampak pada inflasi dan berpotensi menaikkan harga minyak goreng seperti yang terjadi pada 2022.
Menurutnya, sekitar 40% produksi CPO nasional masih dipasok ke pasar global. Dengan Indonesia sebagai pemasok sekitar 56% volume CPO dunia, atau 20% dari total ekspor minyak nabati global, kebijakan ini dapat mempengaruhi harga internasional dan nasional.
Di sisi lain, program biodiesel masih mengandalkan dana dari Pungutan Ekspor CPO untuk menutupi selisih harga antara solar dan FAME. "Pemerintah harus memutuskan langkah mana yang lebih menguntungkan bagi negara: memperkuat devisa melalui ekspor CPO atau mengurangi impor bahan bakar fosil dengan program B50," kata Eddy.