Kisah Ignaz Semmelweis, Pelopor Cuci Tangan yang Berakhir Tragis

Martha Ruth Thertina
20 Maret 2020, 13:30
Sejumlah pelajar mempraktekkan cara mencuci tangan yang benar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) AL HIdayah Mudal, Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (14/3/2020). Kegiatan Gerakan Cuci Tangan dengan benar tersebut untuk memberikan pendidikan kepada pelajar pentingny
ANTARA FOTO/Anis Efizudin/foc.
Sejumlah pelajar mempraktekkan cara mencuci tangan yang benar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) AL HIdayah Mudal, Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (14/3/2020). Kegiatan Gerakan Cuci Tangan dengan benar tersebut untuk memberikan pendidikan kepada pelajar pentingnya menjaga kesehatan dan mencegah penularan virus Corona (COVID-19). FOTO ANTARA/Anis Efizudin/foc.

“Mayoritas dokter di Wina berasal dari keluarga kelas menengah atas, dan mereka menganggap diri mereka sebagai orang yang sangat bersih dibandingkan dengan orang miskin kelas pekerja. Dia (Semmelweis dinggap) menghina ketika mengatakan tangan dokter bisa kotor," kata Profesor Sejarah dari Stony Brook University Nancy Tomes seperti dikutip The Guardian.

Dikutip dari situs Semmelweis Society International, Semmelweis juga diejek oleh komunitas medis di Wina, bahkan dipecat dari tempat kerjanya. Kondisi tersebut memaksa Semmelweis untuk pindah ke Budapest. Di sana, ia rajin menulis surat terbuka kepada komunitas dokter kandungan di seluruh Eropa.

Lewat surat tersebut, Semmelweis mengekspresikan kemarahannya atas ketidakpedulian dokter di Eropa. Masyarakat Eropa di zaman tersebut, termasuk istrinya, menganggap Semmelweis telah kehilangan akal sehat karena gemar mencela profesi dokter sebagai “pembunuh yang tidak bertanggungjawab”.

Ia masuk rumah sakit jiwa pada 1865. Ia meninggal 14 hari kemudian, tepatnya pada 13 Agustus 1865, diduga karena dipukuli penjaga. Ia meninggal pada usia 47 tahun.

Kini, dunia pun mengenal istilah Semmelweis effect, sebuah metafora untuk mendeskripsikan penolakan orang banyak terhadap pengetahuan baru yang bertentangan dengan norma, kepercayaan, atau paradigma yang sudah ada. Istilah tersebut terinspirasi dari gambaran reaksi masyarakat Eropa terhadap pemikiran Semmelweis.

Pengetahuan Semmelweis baru diterima secara luas setelah kematiannya, lewat penelitian-penelitian. Pada 1957, saat kesehatan mental Semmelweis menurun, Louis Paster melakukan penelitian tentang bakteri penyebab penyakit yang memberikan penjelasan teoritis atas pemikiran Semmelweis, bahwa cuci tangan bisa menjadi instrumen pencegahan penyakit.

Penelitian Louis juga berhasil membuktikan bahwa bakteri dapat dibunuh dengan tingkat panas tertentu. Dari sana muncul penelitian lanjutan tentang antiseptik. Suhu panas tadi berhasil diterapkan dalam bentuk cairan yang tidak merusak kulit manusia sehingga dapat digunakan saat mencuci tangan.

Penulis/reporter: Nobertus Mario Baskoro

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...