Corona dan Empat Risiko Lain Mengancam Kejatuhan Ekonomi Global

Hari Widowati
27 Februari 2020, 13:53
Grafik- Telaah
123rf.com
Lima risiko mengancam perekonomian global, mulai dari konflik Amerika Serikat dan Iran hingga epidemi virus corona.

Dampak virus corona terhadap perekonomian global diperkirakan lebih dahsyat dibandingkan epidemi severe acute respiratory syndrome (SARS) pada 2003. Pasalnya, peran Tiongkok terhadap perekonomian dunia sudah berkembang empat kali lipat dibandingkan 2003.

Bedasarkan skenario dasar yang dilakukan oleh para profesional di bidang medis, kondisi darurat kesehatan di Tiongkok akan terkendali pada akhir Maret 2020. Pada saat itu, pemerintah akan mencabut karantina yang diterapkan di beberapa daerah dan aktivitas ekonomi kembali normal.

EIU memprediksi Pemerintah Tiongkok akan menerapkan stimulus fiskal dan moneter untuk memulihkan ekspansi ekonomi. Sehingga, ekonomi negeri Panda dan perekonomian global akan pulih pada semester II 2020. Berdasarkan hitungan EIU, ada 20% peluang virus corona tidak bisa dikontrol hingga pertengahan 2020. Namun, hanya ada 5% kemungkinan virus corona akan bertahan lebih lama dari 2020.

Dalam skenario terburuk, dampak ekonomi virus corona bakal lebih dalam dan bertahan lama. Kondisi ini menyebabkan disrupsi terhadap perdagangan global semakin parah, rantai pasokan harus dialihkan dari Tiongkok ke negara lain. Beberapa negara diprediksi akan menerapkan hambatan-hambatan tarif pada perdagangan bilateral.

Konflik dagang AS-Tiongkok akan kembali memanas jika Tiongkok tidak bersedia atau tidak bisa memberikan komitmen impor di bawah kesepakatan dagang tahap pertama. Sejumlah eksportir internasional akan mengalami tekanan finansial karena penurunan permintaan dari Tiongkok menekan harga komoditas dan pendapatan ekspor.

Krisis kesehatan publik yang berkepanjangan juga menjadi ancaman bagi stabilitas politik dan keuangan di Tiongkok. Jika legitimasi dan kompetensi pemerintah terancam, mereka harus merespons dengan kebijakan kontrol sosial. Di sisi lain, ada kekhawatiran terhadap pelonggaran kebijakan moneter dan fiskal yang diperpanjang hingga 2021 akan menambah utang swasta dan menggoyang stabilitas finansial Tiongkok. Dengan menghitung dampak langsung pelemahan permintaan di Tiongkok dan gangguan ekonomi di negara lain akibat virus corona, EIU memprediksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini bisa lebih rendah dari 2,5%.

(Baca: Dampak Corona, IMF Ramal Laju Ekonomi Tiongkok Terendah dalam 30 Tahun)

4. Beban utang menyebabkan resesi di negara-negara berkembang

Iklim suku bunga rendah selama satu dekade menyebabkan utang global meningkat, khususnya di negara-negara berkembang yang mencatat lonjakan utang luar negeri. Di negara-negara maju, rumah tangga mengurangi beban utangnya. Namun, hal itu bisa terjadi karena difasilitasi peningkatan utang publik.

Risiko utang korporasi juga meningkat, khususnya di AS. Alhasil, prospek pertumbuhan global menjadi lebih rentan terhadap perubahan kondisi finansial, seperti perubahan suku bunga AS maupun minat investor terhadap aset-aset berisiko. Hal ini berdampak pada biaya pinjaman yang lebih tinggi bagi negara-negara yang berutang. Contohnya ketika AS menaikkan suku bunga acuannya pada 2018 dan dolar AS menguat, sehingga terjadi krisis mata uang dan resesi di Turki serta Argentina.

Wabah Resesi ekonomi global
Wabah Resesi ekonomi global (Katadata)

Perubahan kebijakan yang mengarah pada pelonggaran moneter oleh bank-bank sentral utama dunia memberi angin segar bagi korporasi dan negara-negara yang memiliki beban utang tinggi. Namun, mereka tetap rentan terdampak oleh perubahan ondisi pasar yang terjadi secara tiba-tiba, seperti penurunan tajam harga komoditas ekspor atau meningkatnya risiko global. Kedua faktor itu bisa menyebabkan para kreditor menarik dananya dan mengalihkannya ke instrumen investasi yang aman.

Risiko peningkatan suku bunga global ini belum hilang. Tekanan politik antikemapanan di beberapa negara maju seperti terlihat di AS dan Inggris membuat risiko pengetatan kebijakan moneter meningkat. Alhasil, penarikan dana asing dari pasar negara-negara berkembang akan kembali terjadi sebagaimana kondisi 2018.

Berdasarkan skenario ini, Turki dan Argentina yang mata uangnya telah stabil bisa kembali terpuruk dalam resesi. Krisis baru bisa terjadi pada negara-negara yang selama ini bergantung pada dukungan ekonomi Tiongkok. Jika terjadi pemangkasan konsumsi di negara-negara berkembang, sebagian besar ekonomi dunia akan mengalami resesi. Probabilitas hal ini terjadi mencapai 20%.

(Baca: Membengkak, Utang Luar Negeri RI Akhir 2019 Tembus Rp 5.620 Triliun)

5. Eksodus dari Hong Kong akibat unjuk rasa yang berkepanjangan

Hong Kong dilanda gelombang unjuk rasa dan gejolak sosial sejak Juni 2019. Upaya pemerintah setempat meloloskan RUU Ekstradisi mendapat perlawanan dari masyarakat. Unjuk rasa berkembang menjadi ekspresi ketidakpuasan terhadap sistem politik dan kepemimpinan di Hong Kong.

Ada kemungkinan aksi unjuk rasa akan kembali muncul jika hak-hak sipil terancam dalam jangka panjang. Hal ini bisa terjadi menjelang pemilihan Komisi Legislatif (Legco atau Parlemen Hong Kong) pada September 2020 jika pemerintah membatasi anggota dari kamp lokal yang pro-otonomi. Para pengunjuk rasa juga harus bersiap dengan upaya kontrol sosial melalui penerapan teknologi, seperti pengenalan wajah dan penggunaan blockchain dalam manajemen sosial dan layanan publik.

Jika ketegangan terus meningkat, ada risiko Pemerintah Tiongkok akan merespons unjuk rasa ini dengan menunda sistem pemerintah "Satu Negara Dua Sistem" yang memungkinan Hong Kong menikmati otonominya. Jika Tiongkok menurunkan pasukan militernya, kemungkinan jatuh korban semakin besar.

Skenario-skenario itu memiliki dampak serius dan mengancam status Hong KOng sebagai pusat keuangan terpenting nomor tiga di dunia. Pekerja dan perusahaan-perusahaan asing yang selama ini menggerakkan perekonomian Hong Kong akan hengkang dan merelokasi bisnisnya ke kota lainnya, seperti Singapura, Tokyo, Taipei, atau Bangkok. Tekanan politik bagi AS untuk menjatuhkan sanksi bagi Tiongkok juga bisa memperburuk hubungan dagang kedua negara. Dalam hitungan EIU, probabilitas hal ini terjadi mencapai 15%.

(Baca: FDI Global Turun pada 2019 akibat Kondisi Hong Kong dan Inggris)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...