Menangkan Pemilu, Macron Janji Satukan Prancis yang Terpecah

Maria Yuniar Ardhiati
8 Mei 2017, 11:24
Macron prancis
REUTERS/Robert Pratta/ANTARA FOTO

Prancis masih menghadapi ancaman terorisme dan berjuang dengan perekonomiannya yang stagnan, setelah adanya pemutusan kerja besar-besaran selama berpuluh-puluh tahun terakhir.

Menyambut kemenangan Macron, ucapan selamat pun mulai berdatangan dari para pemimpin dunia. Kantor Perdana Menteri Inggris, Theresa May menyampaikan ucapan selamat atas kemenangan Macron. “Kami menantikan kerjasama dengan presiden baru dalam berbagai prioritas bersama,” katanya.

Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberikan ucapan melalui akun Twitter-nya. “Selamat kepada Macron atas kemenangan besarnya sebagai presiden Prancis,” kata Trump yang akan bertemu dengan Macron dalam pertemuan NATO di Brussels, Belgia.  Sebelumnya pada masa kampanye pemilu Presiden Prancis, Trump menyebut Le Pen sebagai kandidat terkuat. 

Meski selisih perolehan suara Macron dan Le Pen cukup lebar, angka yang dicatatkan Le Pen memang  menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah untuk kubu far right. Bahkan, setelah penampilannya pada acara debat yang dianggap membahayakan di stasiun televisi, Le Pen diramalkan meraih 11 juta suara. Angka ini dua kali perolehan ayahnya, Jean-Marie Le Pen, yang mengikuti pemilu presiden tahun 2002.

Namun pada kenyataannya, angka yang diraih Le Pen merupakan yang terendah selama 40 tahun terakhir. Hampir sepertiga pemilih tidak memberikan suara untuk Macron maupun Le Pen. Ada 12 juta suara abstain.

Le Pen dengan cepat mengakui  kekalahannya. Meski demikian, ia mengklaim telah meraih angka terbanyak sepanjang sejarah untuk seorang oposisi di Prancis. Le Pen pun berjanji melakukan perbaikan besar-besaran terhadap partainya, Front National.

Ia juga berjanji menjalankan transformasi kubu far-right untuk membuka peluang partai terhadap pengembangan demi mendorong peluang dalam pemilu. Hal ini menjadi langkah utama Le Pen dalam normalisasi politiknya.

Perpecahan di masa pemilu tidak hanya dialami Prancis. Hal ini pun pernah terjadi di Amerika Serikat. Pemilu yang berlangsung pada 2016 itu telah menimbulkan perpecahan karena persoalan ras, etnis, serta kebuadayaan.

Pemilu telah memecah warga Amerika Serikat menjadi dua kubu koalisi besar. Keduanya hampir sama kuat, tapi sangat berbeda secara radikal dalam hal demografi dan pemikiran.

Saat Donald Trump keluar sebagai pemenang pemilu, para pemilih di sejumlah wilayah terpencil yang merasa dilupakan Presiden Barack Obama, bersuka cita. Mereka menilai Trump membawa kemenangan bagi mereka dalam hal perekonomian.

Sementara itu, ribuan warga minoritas, milenial, serta wanita di wilayah urban, berduka atas terpilihnya Trump. Mereka pun meluapkan kekecewaan dengan melakukan aksi protes besar-besaran di jalanan.

Mereka merasa takut kepemimpinan Trump hanya akan membawa Amerika Serikat ke masa kegelapan. (Baca: Bangkitkan Amerika, Trump Butuh Rp 13.400 Triliun buat Infrastruktur)

“Rasisme masih ada, dan nyatanya populer,” kata Heather McGhee, presiden kelompok liberal Demos Action seperti dikutip NBC News, 11 November 2016.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...