Aristides Katoppo, Wartawan Pemberani Penjaga Kebinekaan

Hari Widowati
30 September 2019, 13:20
profil Aristides katoppo, obituari Aristides Katoppo, wartawan senior Sinar Harapan,
Dok. Sinar Harapan
Aristides Katoppo, wartawan senior dan pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI), wafat dalam usia 81 tahun karena serangan jantung, di Jakarta, Minggu (29/9).

Kecintaannya terhadap alam dimulai sejak ia kecil. Saat terjadi Perang Dunia II, pesawat Sekutu menjatuhkan bom di Minahasa. Salah satunya di persawahan tidak jauh dari rumah Tides. Ia dan keluarganya pun mengungsi ke kebun kopi milik salah satu pegawai ayahnya. Saat tidur di sebuah pedati yang ada tendanya, tanpa sadar ia terguling keluar tenda. Ketika menengadah, Tides melihat indahnya bintang-bintang bertaburan di langit.

(Baca: Cosmas Batubara Wafat, Mantan Menteri Soeharto yang Jadi Bos Properti)

Menurut Mimis Katoppo, istri Tides, pengalaman itu adalah ingatan yang sangat mengesankan bagi Tides. "Sampai sekarang pun Tides senang menerawang ke langit, bila bintang-bintang bertaburan,” kata Mimis dalam buku Tides Masih Mengembara, yang diterbitkan pada peringatan ulang tahun Tides ke-80, tahun lalu. Pengalaman ini menjadi salah satu alasan Tides bersama kawan-kawannya untuk mendirikan lembaga swadaya masyarakat, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Penjaga Kebinekaan

Tides juga dikenal sebagai sahabat Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Mereka memiliki pandangan-pandangan yang sejalan mengenai kebinekaan. Putri Gus Dur, Anita Wahid, melalui akun Twitternya turut menyampaikan ungkapan duka cita.

"Innalillahi wa innailaihi rojiuunnn...Turut berbelasungkawa atas kepergian Bapak Aristides Katoppo, seorang pejuang kebebasan pers dan jurnalisme. Semoga engkau sudah dalam damai di sisi-Nya, Pak Tides. Mungkin sekarang engkau sedang bersenda gurau dengan Gus Dur di sana." Demikian tulisnya di akun @AnitaWahid.

Dalam peluncuran buku Resonansi Kepemimpinan Transformatif Kang Yoto di Yogyakarta pada 2016, Tides pernah mengungkapkan tentang kebersamaan dan kebinekaan yang menjad modal sosial Indonesia. Kedua hal tersebut adalah aset yang tidak bisa diukur dengan uang. "Sayang sekali, di dunia sekarang ini kekayaan sosial kurang dianggap penting karena politik dan pasar adalah panglima," ujar Tides seperti dikutip Sinar Harapan.

Padahal, Indonesia lahir karena memiliki kemampuan sosial dan budaya berupa toleransi tinggi terhadap kebinekaan. Jika modal sosial tersebut tidak dirawat, Indonesia akan rawan mengalami gesekan dan konflik, seperti yang terjadi di negara lain.

(Baca: Mbah Moen, Ulama Pemersatu Bangsa yang Diperebutkan Jokowi dan Prabowo)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...