Gagal Paham RUU PKS, Dianggap Pro-LGBT dan Melenceng dari Agama

Sorta Tobing
25 September 2019, 17:16
RUU PKS, pro kontra ruu pks, draft ruu pks, isi ruu pks 2019
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Massa demo tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di depan gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat (17/9).

Berdasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, pada 2018 terjadi peningkatan kasus sebesar 16,6% dibandingkan 2017 menjadi 406.178 kasus.

Komnas Perempuan juga melihat selama satu dekade ini ada tren yang menunjukkan semakin banyak korban kekerasan berani melapor. Selain itu, tingkat kepercayaan dan kebutuhan korban terhadap lembaga-lembaga penyedia layanan pendampingan kasus kekerasan juga meningkat.

Kasus kekerasan seksual sepanjang 2019 banyak terjadi di wilayah tempat tinggal. Komnas Perempuan menyebutkan pelaku kekerasan tertinggi dilakukan oleh teman dan tetangga. Grafik Databoks berikut ini menunjukkan lokasi rawan kejahatan seksual terhadap perempuan.

Para aktivis perempuan berpendapat, penundaan RUU PKS justru mempermainkan dan menyakiti perasaan seluruh korban di Indonesia. Apalagi dialog yang terjadi justru dimaknai secara negatif.

"Pengabaian dan penolakan ini menunjukkan bangsa Indonesia telah dikuasai oleh sekelompok orang yang ingin mempertahankan “budaya perkosaan," dan justru melanggengkan para pelaku kejahatan seksual serta sama sekali tidak berempati pada korban," kata akademisi dan pegiat perempuan Yulianti.

(Baca: Ketika Mahasiswa di Penjuru Daerah Bergerak Tolak UU Kontroversial)

Sementara itu, DPR berdalih tertundanya RUU PKS karena saat ini mereka masih mentok membahas tiga hal. Pertama, mengenai judul RUU. Lalu, definisinya.

“Teman-teman anggota panja (panitia kerja) menganggap kalau dipahami sebaliknya UU ini terlalu bebas,” kata Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang pada 19 September lalu.

Yang ketiga, soal pidana dan pemidanaan. Banyak anggota panja, menurut Marwan, yang keberatan bila undang-undang ini bertentangan dengan induknya, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidanan (KUHP).

Saat ini pun RUU KUHP tertunda pengesahannya karena penuh pasal kontroversial. Banyak ranah privat yang dipersoalkan dan masuk pidana. Karena itu, DPR saat ini dianggap lebih peduli dengan orang berzina daripada korban kekerasan seksual.

Marwan mengatakan kalau urusan pidana ini selesai maka tinggal tersisa dua masalah yakni judul dan definisi. “Yang dikhawatirkan adalah judul dan definisi menjadi liberal atau membolehkan pintu masuk LGBT,” katanya.

(Baca: Jokowi Minta Tunda Pembahasan RKUHP, Serius atau Pencitraan?)

Halaman:
Reporter: Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...